Kamis, 22 Januari 2009

SEPEDA BUTUT

BAB 21

Agus, dan Igus adalah sohibku, kami tiga serangkai, laksana tungku, Agus dan Igus berbadang besar dan kukuh, dan aku yang paling tidak mewakili tipe orang Indonesia kebanyakan, agak kecil, perbandingan seperti jawi pesisir dan simental.

Jarak kampungku dengan sekolah tidak terlalu jauh dan sulit, kami hanya butuh 30 menit saja, kecuali kalau kondisi gawat dan darurat, kami tidak boleh telat barang sedetikpun, kalau terlambat tidak ada ampun, Pak Mahaindra, akan menghajar kami dengan hukuman. Untuk itu perlu sedikit ketergesan.

Pak Mahaindra sosok yang menjadi momok, beliau amat kukuh, apabila sudah memasuki wilayah kedisiplinan tidak ada tawar menaawar, hukum berlaku pada semua, semua warga civitas SMA Lengayang sama di depan hukum, tidak ada main uang, main mata atau tawar menawar, terutama Upit yang jago dalam soal rayu merayu , Pak Mahaindara tidak mempan dirayu, senyum manis upit berlalu tampa makna, apalagi kami yang tidak terbiasa tersenyum, apalagi tergelak akan sia-sia.

Sistem kedispilinan yang sangat kaku, standar, dan kami slalu waspada, untuk mata ajaran Pak Mahaindra, jadwal keberangkatan dimajukan, 15 menit lebih cepat, inilah yang menjadi siksaan terbesar bagi kami, kalau-kalau sepeda miniku atau tunggangan sepeda jantan Agus atau Igus bermasalah secara teknis, mogok, bukan karena kehabisan BBM tetapi ranjau dan batu kerikil yang membuat kami harus ekstra hati-hati.

Pak Mahaindra tidak sendiri, ada Buk Risdawati, yang dingin dan beku, tatapannya laksana elang, dua rahangnya kukuh gemeratak, Kimia bukanlah bidangku, itu menjadi bagian kegemaran Agus, sama halnya dengan Matematika, Fisika, sementara bagiku tetap seperti dulu, matematika dan segala turunanyan, sampai ke cicit-cicitnya, pokoknya yang berhubungan dengan rumus, hitung menghitung, kali, menambah, kecuali membagi, menjadi musuh otak kiriku. Jika ada sosok yang membuat hatiku gentar dan gemetar Buk Risdawati adalah salah satunya.

Avon menjadi bukti outentik ‘keganasan’ guru Kimia itu, salah dan shilaf, saat itu sedang berlangsung ulangan Kimia, salah satu yang paling tabu, tidak ada yang boleh celingak celinguk, mencontek, apalagi membuka buku atau jimat, pembaca, jimat adalah catatan kecil dan panjang, dilipat-lipat dan salah satu trik kecurangan konvensial dan paling banyak dipraktekkan.
“Avon, apa itu” bentak Buk Ris keras, suasa hening pecah, coretan-coretan yang ku buatpun ikut bergetar nyaliku ciut, aku persis di samping Avon, kecuranagan Avon berakibat Fatal.

“ Keluaaaaar” hardik Buk Ris seperti komandan upacara hari Kebangkitan Nasinal, suara Buk Ris Bertenaga dan tentu saja berenergi, sejurus kemudian kertas yang ada di tangan Avon disambar Buk Ris, bunyi gemerisik kertas yang tercerai berai, jawaban kimia Avon jatuh berkeping keping.

Avon berontak, berdiri spontan hendak pergi, tetapi kursi tempatnya duduk terlanjur jatuh, berisik, hentakan diluar kesadaran dan membuat Buk Ris mendidih, sebuah tamparan mendarat tepat di wajah Avon, tak terelakkan.

“Pplaaaak”

Tamparan di pipi Avon bukanlah kasus pertama, dari cerita yang beredar, telah banyak kasus kenakalan siswa yang beliau selesaikan dengan ‘elusan’ dan tidak ada yang bernyali, bahkan Eka sang ‘jawara’ sekolah kami, keder, apalagi Aku, Agus dan Igus, kami tipe orang udik, dan penakut?, orang yang tak pernah belajar karate, kungfu, atau taekwondo, tidak pernah, kalaupun ada sedikit kepandaian Silat dan itupun sudah kuno, ketinggalan zaman.

Wan Husin lebih sering kehabisan nafas, jurus silat yang diajarkannya kepada orang orang yang tidak berbakat. Jurus Silat Induk Ayam, begitu nama aliran silat itu, banyak diantara kami yang tidak yakin, namanya terlalu kampungan, Induk Ayam , bukankah ada nama yang lebih sangar dan seram, silat induk macan misalnya , silat macan ompong, atau silat kuda arab yang kedengarannya lebih perkasa dan jantan, tentu akan memberi efek lain, dibanding sekedar silat induk Ayam, leceh dan penuh cemooh.

Tentu saja Eka bukan lawan tanding kami, dan kami memang tidak masuk dalam daftar ‘jawara’ di SMA Lengayang, kami tidak akan mempu melawan jurus-jurus Eka yang terkenal, dia pemegang sabuk hitam Karate, sama seperti Buk Ris.

Ini fakta, bukan cerita saja, suatu siang yang garang, panas membakar ubun ubun, kami baru saja sampai digerbang sekolah, tiba-tiba sebuah tendangan tiba-tiba tak terduga mendarat dipunggung Agus. Igus dan Aku tersirap, jantung berdegup kencang sekali, spontanitas yang tidak lucu, Agus terhuyung huyung, seperti actor lagi Mandarin yang terkena tendangan Jet lee.
Mengapa Agus diserang?, mengapa kami tidak?, demi solidaritas ini tidak bisa dibiarkan, Agus harus dibela, dua tiga pukulan tanpa balas, dan darah kami mendidih,

“Kurang Ajar” desisku membathin, demi harga diri, demi nama tungku tigo sajarangan, demi tali tiga sepilin dan demi sepeda mini dan onthel, demi dedemit, demi..demikian.

Sebuah tendanganku hanya menembus angina, kosong dan hampa, Eka menyeringai, dan sejurus kemudian sesuatu mendarat persis di keningku, keras dan cepat, sungguh prakiraan yang sudah ku prakirakan, percuma Eka bukan sparing partner yang pas untuk anak silek, silek beraliran Induk Ayam. Aku terjengkang.

Igus mulai tak sabar, bodinya yang berisi, tinggi dan berkulit legam, tampangnya memang tidak lembut, lebih angker dari Eka sebenarnya, tetapi tidak pernah membuat gaduh, terpaksa turun gunung, ini tidak bisa dibiarkan, dan harus segera diselesaikan dengan cepat dan sigap, kekerasan harus dilawan dengan kekerasan, keras harus disandingkan dengan yang keras pula, filosofi air dilawan dengan air tidak berlaku, saat ini fostulat yang tepat, demi harga diri, Eka kami keroyok, menonton makin ramai, tiga lawan satu, pertandingan yang tidak seimbang.

Tetap saja Eka terlalu tangguh, badan yang besar tidak menjadi jaminan untuk menang, Tubuh Agus dan Igus, tidak banyak membantu, mereka sering sempoyongan, sementara aku memang jaga jarak, mataku masih nanar, dan penonton bertepuk riuh, siang yang makin hangat, dan kami menjadi tontonan seperti Ponger penjual obat kurap di Pasar Sabtu.

“ berhenti” suara bentakan, Buk Risdawati tiba tiba muncul, satu persaatu kami mendapat belaian Buk Ris.
“Pllaaaak”
“Pllaaaak”
“Pllaaaak”
“Pllaaaak”
Empat porsi tamparan dan masing-masing dapat satu porsi.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar