Kamis, 22 Januari 2009

SEGENGGAM ASA

Asnimar, Sosok yang pernah kulukis, tidak saja dalam buku gambar, ketika aku sekolah, tetapi sampai ke hati, tetapi sayang tidak lama, karena peristiwa Angku Soetan cukup dia saja yang menjalaninya. Aku tidak ingin tersesat dalam pusaran waktu yang melelahkan, terutama tentang kesetian, janji dan masa depan yang setiap orang tidak boleh menulisnya dengan kalimat pasti!.
Seraut wajah yang kemudian membuat aku lupa, bahwa aku masih mencangkul diladang, melupakan tentang kuliah yang belum mulai, entah kapan, atau tentang keinginan-keinginan.
Sosok bersahaja, seorang yang membuatku menjadi terobsesi. Romannya cerah, senyumnya bak setetes madu, dan keangkuhannya untuk membela harga diri patut di banggakan. Itu saja sekelumit iktibar yang dapat kutemukan dalam diri Asnimar, selebihnya aku mulai menyukai sosok wanita.
Awalnya, Tepat 17 Ramadhan, saat ustadz sedang meyiram jemaah Bhaitus Shafa dengan kalimat-kalimat Tuhan, purnama menjadi saksi, bahwa Asnimar terlalu angkuh untuk kusentuh, kala nafas sudah diubun-ubun.
“ Ini bukan cinta uda, ini nafsu, saya tidak suka“ mukaku padam menahan malu, untung saja kelam menyurukkan harga diriku, aku telah lancang, segera saja kukemas harga diri yang hampir jatuh.
“ Maafkan aku, aku tersilaf”
Pengakuan yang agak terlambat, tentu saja tidak ada istilah terlambat, untuk mengakui kesalahan tetapi sikap ini tentu lebih dihargai dan lebih baik ketimbang aku tidak berterus terang.
Hendra mengajarkan tabiat cinta yang jelas-jelas salah, cinta berlapis nafsu, menyangka loyang itu emas, dan itu bukan perangaiku, karena banyak alasan yang dapat menjadi peetimbangan dan referensi, kalau itu bukan perangai asliku, itu hanyalah watak sepuhan, watak yang tiba-tiba saja hadir dan mengelorakan.
Status Ayahku, Guru, Ustadz, dan menyandang predikat ‘mamak nagari’ sosok yang disukai oleh penduduk, tentu saja reputasi itu kujaga benar, seperti menjaga air dalam gelas yang hampir tumpah, jangan-jangan Asnimar juga salah seorang ‘kemenakan’ Ayah, kalau begitu aku memang telah lancang, untung saja ‘kecelakaan’ tidak terjadi.
Rasa malu itu biar ku tanggung sendiri, ayah bukan bagian dari cerita ini dan Hendra melukis sendiri kisahnya dalam hati mereka yang berbunga-bunga. Sesekali terdengar detak ranting patah, derak angin, dan ringkihan kuda dari dalam kandang.
Sayup-sayup ada cayaha yang berkelabat, Mak Iyas, beringsut dari rumahnya, menuruni tangga, darahku tersirap, ini akan jadi petaka, kalau persembunyian kami terendus, Mak Iyas akan menciracau heboh, dan nagari akan buncah, ‘anak Pak Guru, berintaian’.
Kami segera merunduk dan mengatur nafas, diam, hening, Mak Iyas, hanya berjarak beberapa depa dari kami, untung saja kami dapat melewati masa menegangkan itu dengan selamat, selesai berwudhuk Mak Iyas masuk kerumahnya, dan Asnimarpun lega.
“Aku takut uda” bisik Asnimar persis didaun telingaku, aku berusaha menghilangkan galaunya, ”Aku juga begitu Dik” jawabku serak, sedari tadi kami memang tidak banyak cakap, karena dari tempat seperti ini memang tidak ada yang akan dibicarakan kecuali sepatah dua kata, pelan dan sayup, dari balik dangau ini, kami hanya berprinsip ‘banyak bekerja sedikit bicara’ maksudnya lebih banyak diam, kecuali Hendra benar-benar menikmati kelamnnya malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar