Kamis, 22 Januari 2009

PONDOK PENGIBULAN

BAB 16

Benar -benar siang yang sempurna, tuhan sedang melukis dan kanvasnya adalah langit biru.

Aku dan teman temanku, seperti biasa, sudah tiba dipondok, pondok yang justru menjadi rumah kedua bagi kami, letaknya jauh, seputaran pondok jika pandangan disapu terantuk pada tepi tepi batas bukit yang melingkar layaknya pagar. Hamparan persawahan nun sampai jauh sampai membentur dinding susunan pohon kelapa, sayang dibiarkan merimba, dan tetumbuhan seperti ilalalng, mensiang, rumput banto, eceng gondok, selebihnya tanaman khas persawahan seolah yang paling berkuasa dan tidak terlawan.

Sepanjang hamparan sesayut sayut pandangan bisa dilayangkan, seperti hamparan permadani hijau, sapi gembalaan kami begitu leluasa merancah, berpesta pora, mekan enak dan kenyang, padang rumput dan tumbuhan persawahan merupakan makan pilihan bagi sapi sapi yang dibiarkan lepas.

Wajar jika selepas sekolah, siang setelah zahur berlalu beberapa saat, gembala yang pagi tadi kami tambatkan, saatnya untuk lepas dan merdeka hingga sore menjelang, selebihnya hembusan angin sepoi sepoi, tak ada yang menghalagi tiba dipondok, melenakan kelopak mata, menyerang rasa kantuk.

Akhir akhir ini memang lahan yang begitu luas itu sering tidak diolah, kalaupun diolah, sekali musim saja dalam setahun, kalu biasanya sekali musim padi selesai maka tanam pengganti, seperti palawija, cabe, atau semaangka masih dibudidayakan, tapi belakangan Bapak-bapak, Uwan-awan, etek etek dan uda-uda yang sudah kuas kesawah merasa enggan beraktivitas disawah, tentu ada sesuatu masalah sehingga timbul rasa enggan berkubang lumpur.

Sawah tidak lagi memiliki daya tarik sehingga ditinggalkan, orang orang terbius hendak pergi merantau, menjalani falsafah masyarakat Minang, karatau madang dihulu babuah babungo balun, marantau bujang dahulu dikampuang paguno balun , merantau mengadu nasib.

Maka banyaklah anak muda kampungku yang pergi mengadu peruntungan, Tanah jawa dan semananjung Malaysia menjadi pilihan, sebuah cita cita mulia mambangkik batang tarandam , merengkuh masa depan yang lebih baik dan bermartabat, betulkah?

Entahlah waktu adalah saksi bagi semua cita cita dan harapan, mimpi mimpi yang bersemayam di benak pemuda pemuda kampungku patut diapresiasi, tetapi sayang, mereka ibarat tentera ke medan laga, tempa persiapan senjata dan bekal, jika hanya semangat dan keberanian saja, demi waktu mimpi mimpi itu akan sirna,

Akan kesawah ini jualah mereka kembali, berkubang dan berlumpur, berlunai mengadu peruntungan, mengharap tetesan rezki Allah yang Maha Pemurah. Maha Pemberi Rezki, tidak ada yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar