Kamis, 22 Januari 2009

JEMBATAN AKAR TITIAN HATI

BAB 22

Aku baru saja merayakan Ultah, ulang tahun sweet seventeen, begitu indah dan menyenangkan, tidak ada memang yang memberi kado, tidak ada tiupan lilin, tidak ada nyanyian Happy Birthday, dan tidak ada kecupan atau suapan kue, semua prosesi ulang tahun berlangsung dalam hati, sama seperti Ultah ultahku selama 16 kali berlalu, semua serba tidak ada, kecuali rasa takzim, rasa yang datang dari dalam hati nun jauh.

Aku memang bukan orang yang tidak berhak untuk merayakan hari jadiku, seperti orang orang dalam sinotren yangku saksikan dari balik nako rumah tetangga, bukan itu mksudku, aku tidak biasa saja, dan untuk apa pula kertas undangan berwarna, hembusan lilin, kue, atau tragedi balon meletus.

Tapi sesuatu yang oleh Pak Haji Damhuri, amat penting di kunyah kunyah, bahwa umur yang disediakan bertambah sedikit dan berkurang, terbalik dari logika bahwa bertambah umum bertambah pula usia, nyatanya bukankah bertambah umur berkurang pula jatah hidup kita.

Badan tersisih seorang diri, karena miskin melilit hidup, tapi kali ini kesempatan yang datang dalam kesempitan, ” Pengumuman, Kesempatan untuk dua orang lagi, siapa yang ikut darmawisata ke Bayang sani dan Jembatan Akar, silahkan mendaftar dengan segera,” begitu bunyi pengumuman di papan tulis kelas.

Bukankah Jembatan Akar salah satu keajaiban dunia, keajaiaban yang Tuhan ciptakan, bukan karya manusia seutuhnya, dua pohon Aru yang bersalaman dari dua sisi tebing Batang Bayang. Akarnya berjalin kulindan, menyusuri batang bambu, dan proses yang lama akhirnya menjadi jembatan indah, unik, dan eksotis.

Sama seperti Air Terjun bayang Sani yang ramai dikunjungi, dari kajauhan tampak seperti naga putih yang meliuk-liuk didinding bukit, bertingkat dan berjenjang, menggulung dan melingkar, terjun membentuk danau pemandian dan menjadi saksi bagi sepasang insan yang sedang kasmaran.

Aku baru paham kenapa, kesempatan terakhir untuk dua orang seperti dipapan pengumuman di kelas, ada maksud tersuruk dan senagaja disamarkan, untuk mengelabui wali kelas, untuk menyebutkan ”kata sepasang’, atau sejoli’.

Di jembatan akar atau dibayang sani, kawan kawanku memang sedang dilanda darah muda, darah yang datang bersamaan dengan Akil Baligh, saat para gadis datang bulan, atau jakun anak laki laki tersumbul dan suara menjadi serakserak becek, saat kendali diri masih berisiko untuk blong, dan tindakan kawan kawan yang berpagut bergelintin sangat berbahaya.

Pemandangan yang menyesakkan, saat hujan menyertai kepulangan rombongan, hanya aku dan Agus saja yang yang benar benar merasakan dingin, selebihnya, justru menikmati anugrah alam ini dengan sepuas puasnya, mereguk cinta dan keremajaan, tentu suatu saat nanti, dalam buku dairy, akan tertulis juga tentang kekecewaan dan airmata, tentang janji-janji, tentang cita dan cinta, tentang pagutan tampa lepas, tentaang debaran jantung, tentang organ tubuh yang mulai berfungsi, dan sedikit hembusan nafsu yang mampir di ujung senja, yang menelan kami mentah mentah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar