Kamis, 22 Januari 2009

BN GADIS BUKAN JANDAPUN TIDAK

BAB 6

Ayah, aku dan Si Deh, tetangga depan rumah, seperti biasa sibuk memetut- matut tanaman kacang, kacang buncis dan kacang rambat , dinamakan kacang rambat ya karena hidupnya merambat, kalau tidak diberi junjungan maka jenis kacangan ini tidak akan berkembang, sama halnya dengan kacang panjang butuh junjungan, kalau tidak produktivitasnya tentu tidak maksimal, justru karena itu, aku dan Si deh itu, sering kebagian tugas untuk mencari junjungan kacang.

Kenapa harus aku dan Si Deh, yang jelas setiap acara makan digelar tampa kacang buncis dan kaang rambat akulah yang selalu melakukan protes, menu ini harus selalu tersaji, kalau tidak suasana makan akan sedikit gaduh dan terganngu, nah mencari junjungan kacang merupakan salah satu bentuk konsesi yang harus kutunaikan dengan iklas, tepat cepat sudaah pasti harus cermat, pemilihan ranting, tinggi ranting, dan daya tahan rantingnya.

sementara si deh merupakan salah seorang tetangga yang juga dengan rutin melakukan panen, baik legal maupun secara ilegal, bagi si Deh ayahku sidah dipanggilnya mamak jadi tak ada alasan membat jurang dan jarak dengan Si Deh, toh bagi sideh, bergaul dengan keluarga ”Pak Guru” sapaan ayahku, disamping Pak Ustad, dan mamak, merupakan sesuatu kehormatan tersendiri, seperti orang kampung ku dikenal Bupati, Sideh termasuk yang memahami masalah junjungan ini dengan lebih baik tentunya dari pengetahuan ku yang serba terbatas, terutama soal ranting rantingan kayu, lagian Si Deh tentu punya referensi lokasi ranting yang mudah diakses.

Lokasi yang paling dekat adalah di samping rumah Si BN, aku memanggilnya etek, pernah sekali aku tambahkan kata BN aku disemprotnya haabis habisan, ” ang anak ustad, guru dak bataratik” aku terkejut bukan kepalang, kenapa pula rupanya bukankah orang orang memaanggilnya BN, kenapa aku tidak boleh memanggilnya Tek BN? Atau jangan jangan dia tersinggung ketika suatu kali permohonannya memanen kacang aku batalkan, pasalnya kacang itu baru disemprot pakai insektisida, dia tidak percaya dan cemberut, karena aku sering menyembprot kacang itu dengan air biasa, sekedar untuk menakut nakuti warga untuk tidak.

” mencoba merayu ayah: untuk segenggam kacang?”. tapi kali ini insectisida benaran, dan dia tetap tidak percaya, tetapi aku ngotot tidak membolehkan si Tek BN itu masuk kewilayah perkebunannku dan Si Deh pun sudah menggertak,
” Beko mati uni, Ko, baru diracun tumah”.
” Ba’a den ang panggia BN, bila ayah waang den palaki” Tek BN yang masih montot dan terlihat masih padat itu mencak mencak,
”ang simpilik kariang”, cubo ang ambiak kayu dibalakang ruamah den” dia terus mencirotet, seperti suara rentetan AK 47 yang membabi buta.

Dari Si Deh aku baru paham, wajar saja Tek BN tersinggung, BN adalah inisial sakti dan menyakitkan bathinnya, kendati dia sering kawain cerai, tetapi dia tetap tak sudi di sebut sebagai BN, kendati orang sering mencibir dan mengunjingkan terhadap eksistensi anaknya yang kemarin baru lahir.

Yang jelas untuk anak yang terakhir ini BN secara resmi tidak pernah menikah, dia menjadi tempat pelarian laki-laki yang butuh kehangatan, dan BN menyediakan diri untuk menampung semua ”sampah” yang kalau tidak disalurkan akan pecah menjadi letupan emosi, tindakan sembrono atau tumbuh menjadi jerawat batu.

Karena saking tidak terhitung entah sudah berapa lelaki yang menidurinya, maka gelar BN alias Bini Nagari melekat erat di setiap ekspresi dan namanya.

Untuk sekedar membujuk Tek BN memang saat ibi buka saat yang tepat, berangkali otaknya sudah kenyang dengan umpatan, carut marut, sumpah serapah dan sinisme yang dibangun ibu ibu yang tentu saja kuatir jangan-jangan ssuaminya menjadi korban berikutnya, Junjungan kacang yang berserakan dihalaman belakang pekarangan rumahnya tidak bisa lagi disentuh dengan leluasa.

Jadilah tugas kami hari ini mencari junjungan kacang tersendat dan nyaris tampa hasil apapun, sama seperti BN yang tampa junjungan, kacang rambat yang butuh junjungan harus rela menunggu hingga esok, ketika emosi tek BN benar benar reda setelah segenggam kacang ku serahkan sebagai barter. Aku tidak mau kacangku bernasib Gadis bukan Janda tidak, tampa junjungan, tampa status tentunya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar