Kamis, 22 Januari 2009

LADANG JAGUNG LADANG PEMBANTAIAN...

BAB 23

Siapa yang menanam, dia akan memetik, terasa lembut dan filosofis, tetapi tidak selalu benar, acap juga terjadi deviasi atau penyimpangan, maka ladang jagung menjadi pembenarannya.

Dari ladang jagung inilah, aku menapaki sayap asaku yang patah, patah dan tentu saja anganku melayang melingkar dari sudut kesudut, menyudutkan hatiku pada kenyataan, pahit dan luka, tidak dapat terbang.

Sembilu menyayat hati dan luka itu terasa perih dan ngilu, untuk semua harapan yang kandas, tentang sekolah yang gagal, dan juga semburat masa depan yang berwarna, dan warna itu sebanarnya hanya sekelabat bayangan hitam yang agak kelabu.

Dari radio cassetteku yang setia, mengalun nada Minang, suara rarau sesorang yang kukenal bernama Zalmon.

Bialah lah diak hujan tangah hari
Naknyo tumbuah sirumpuik banto
bialah diak denai surang diri,
kok jo ambo mungkin sansaro.

Iyo, iyo mungkin sansaro
Iyo, kok jo ambo mungkin sansaro

Santano bapisah
indak denai bakaciak hati
Sajak dulu denai lah tahu
Mimpi mimpi lah tingga mimpi

Kayu aro balapau nasi
Dingin- dingin disukarami
Lah biasa galak dinan lai
Urang nan tido manahan hati

Hujan tengah hari, hujan yang membasahi hatiku, aku menjadi orang yang kalah sebelum berperang, tidak adalagi kebanggaan, seperti ramalan Buk Nurni, bahwa aku salah satu orang yang memiliki bakat, bakat yang datang bukan dari otak bahagian kiri, tapi otak bahagian kanan. Aku tidak dapat menunaikan janji janjiku, saat ini aku hanyalah seorang petani jagung. Dilahan milik tanah ulayat kaum Ayahku.

Hidup laksana benda langit, beredar pada orbitnya, dan akan kembali berulang dalam setuasi yang berbeda?, rotasi hidup saat ini bukankah orbitku yang salah, berevolusi pada garis yang salah, dan tuhan tidak pernah salah, bukan?.

Buktikanlah kalau anda tidak percaya, bahwa hujan tengah hari, lebih banyak mudharatnya, ketimbang manfaat, itu menurut Yek Usi, lalu seberapa dahsyat efeknya pada jagung yang baru kutugal. Tentu, sesuatu yang perlu dilirik dalam teori ilmiah, dan tidak cukup hanya sekedar hipotesa, demikian juga korelasi antara hujan siang hari dengan penyakit demam, dan kaitan erat antara tugal jagung dengan posisi ketika menugal.

Menugal jangan sambil tertawa, buah jagung menjadi rusak dan tidak berbobot, tungkalnya akan aneh, apalagi jika Uwak yang ompong ikut ikutan menugal, barabe, panen jagung representasi gigi Uwak?.

Mimpi tinggalah mimpi, mimpi yang tinggi, sampai kelangit, mimpi melintasi garis hidup yang tak tentu, berjalan, berlari dan berhenti bukan ditujuan, atau aku seperti seorang pelaut yang terombang-ambing, hingga kelam menyungkup malam.

Harus seperti inikah akhir kisah hidupku?, seperti kebanyakan kawan kawanku, lena dalam kubangan lumpur dari pagi hingga petang, ketika pagi datang dan kembali menjemput petang, saban hari, saban waktu, kerna nasib juga, tidak!.

Hanya Aguslah yang bernasib lebih mujur, dia menjadi kebanggaan kampungku, dia disebut sebut sebagai intan yang selama ini tersembunyi dalam lumpur sawah Tebing Tinggi, yang akan membangkit batang tarandam, yang akan menjemput masa depan dengan sebuah harapan, dia laksana matahari.

Fakultas Teknik Nuklir, Universitas Gajah Mada, begitu selembar surat yang digengam Agus tertulis dengan huruf balok mungkin berjenis Bookman Old Style, karakter yang gagah dan berwibawa, ia memang pintar, dia belajar biasa saja, tetapi ingatannya luar biasa, sama seperti aku belajar biasa dan hasilnya juga biasa, sebuah hubungan linear yang tidak simetris.

Tapi Agus menjadi representasi Tiga serangkai, kalau aku dan Igus tercecer, kembanggaan Agus, juga menjadi pancaran kebanggaan kami, bukankah Agus menjadi bagian dari tungku tigo sajarangan.

Kita lupakan Agus, kita kembali ke Ladang Jagung, Ladang Pembantaian (killing Field), persis sama dengan Magadog, Tan Malaka, tentang ladang pembantaian, dan ladang itu menjadi lokasi revolusi hidup yang membuat aku bergejolak, hatiku dibakar gelora api, api yang terus membakar, hingga aku ciut dan menyusut, ladang jagung benar benar sebuah mimpi buruk yang selama aku gamangkan, mimpi seorang anak, beradik banyak, orang tua yang berjuang diladang masing masing, dengan perjuangan sendiri.

Idealisme ladang jagung, jangan pernah menanam jagung sembil tertawa, hasilnya jagungpun akan tertawa, dan siapa yang menaman dia akan memetik, aku akan mulai menanam seperti Agus yang memetik.

Jika anda berkesempatan untuk merenung, terutama tentang masa lalu, maka Sesuatu yang sesunggunya kurang berkenan, menjadi terkenang.

Anda akan merasakan sensasi ketika otak kanan anda bekerja leluasa.
Bekerja dengan naluri, menyibak, menyingkap dan menelisik apa pun yang terbenam dalam memori, seperti mencari intan berlian diantara lumpur.
Pencarian yang penuh sensasi, sensitif dan inspiratif.
Pencarian yang butuh kesabaran dan kejernihan, dan semua terserah anda akan giring kemana, dimana, untuk apa, dan bagaimana.
Sama halnya, untuk pencarian sesuatu yang berharga butuh keseriusan, dan hanya butuh sedikit keberanian, selebihnya adalah bahwa anda berkomitmen bahwa menempatkan fiksi dialam cerita dan penuh romantisme, daya imajinasi dan akseleratif .
Kaloborasi sedikit apapun akan menghasilkan sesuatu yang akhirnya mengiring kita pada penemuan mutiara yang sebenarnya mudah ditemukan tapi susah untuk didapatkan.
Mudah ditemukan dan susah didapatkan, sayapun seperti anda, belum menemukan apa-apa, kecuali sedikit saja dari sedikit garis edar yang setia dan pasti itu.

Siapa yang menanam dia pulalah yang memetik, tetapi kebiasaan masyarakat kampungku, melepas ternak, ternak tidak dikelola dengan tatakelola ternak yang baik paralel dengan good government atau clean governent, dilepaskan begitu saja. Menjadi awal bagiku bahwa postulat diatas perlu dipertanyakan, dalam logika, bahwa mengapa pula ternak ternak itu yang menjadi predator dan mengintai kenyamananku bertani, karena gerombolan ternak itu lapar.

Gerombolan ternak liar dan kreatif, dalam hitungan menit ladang sudah dipenuhi tumpah ruah gerombolan sapi pesisir, dan sudah bisa diduga, pucul muda, pelepah renyah dan buah jagung, seperti seumpama tanam padi yang baru saja diobrak obrik kawanan tikus sawah dan jumlah besar, mungkin ribuan. Terkulai tak berdaya.

Ladang jagungku dibantai oleh sapi pesisir terkutuk, sapi-sapi yang lahir dari proses genetik yang keliru, penyimpangan plasma nutfah sempurna, evolusi sapi menjadi kambing atau kambing menjadi sapi, badannya yang kecil sepadan dengan kambing benggala, atau representasi kambing hasil kloning pakar kehewanan Swedia, tanamku tandas.

Kini, sapi menjadi hewan yang menjadi lawan, binatang yang tak tahu diri, bukankah aku pernah mengasuh saudaramu hampir dua tahun lamanya, hingga kalaupun beranak, secara ekonomi tidak menguntungkan, tidak ada profit yang kuperoleh, kecuali masa kecil yang indah, dan memukau, itu saja.

Mohon maaf untuk kedepan aku tidak akan lagi menaruh hati pada yang namanya hewan ternak, aku tidak berminat untuk jadi pengembala, tidak juga jadi tukang sabit rumput, termasuk menjadi tukang pembuat kandang, tidak untuk kompos dari cirit jawi yang berleak-leak itu, bosan.

Kalau aku kuliah nanti, aku tidak akan mendekati jurusan kehewan, semisal fakultas peternakan, aku akan menjadi Dokter, tapi tidak dokter hewan, mendaftar di Fakultas Kedokteran atau paling tidak di Fakultas hukum.

Menjadi Dokter bukanlah cita cita ku sebenarnya, aku tahu menjadi dokter butuh kemampuan mengali, mengurang, menambah, merumus dan pokoknya perhitungan harus tepat dan akurat, maklum menyangkut nyawa. Aku terobsesi saja, karena teman temanku, termasuk Citra Kasmili, jika ditanya orang tentang cita cita, pasti Doktel, ya Doktel.

Atau, paling tidak masuk Fakultas Hukum, kendati aku tak tahu banyak tentang bidang yang satu ini, maklum dikecamatan kami hanya ada kantor polisi, dari aku tahu sampai sekarang, kantor itu masih seperti itu itu saja, belum seperti kantor-kantor lainnya, kantor camat yang bagus dan atapnya bergerigi, seperti sirip ikan, kantor KPN Kambang, tempat yang selalu rutin kujambangi, terutama dipertengahan bulan, mengambil jatah beras bulog ibuku .

Wajar saja jika watak orang dan penghuni yang berseragam dikantor itu, masih seperti itu-itu juga, tidak ada perubahan yang signifikan, kecuali secara struktural, tetapi secara kultural, belum banyak berubah. Tampaknya tulisan indah ” Kami Siap Melayani Anda” Masih sebatas slogan pemanis saja.

Jangan tersinggung, kalau berurusan dengan dengan orang-orang yang ada didalam sana, jantung anda akan berdegup keras, diplototi, dibentak, dihardik. Salah satu contoh kelemahan birokrasi pelayanan publik?. ” Sebenarnya kami belum siap melayani Anda, kami minta dilayani.
Setali tiga uang dengan kantor-kantor pemerintah yang lain, sejatinya sebagai tempat rakyat berkeluh kesah, tentang berbagai masalah dan problem hidup, tetapi sampai saat sekarang, birokrasi kita masih menjadi salah satu birokrasi terburuk di dunia, pungli yang besar atau akibat gaji yang rendah?

Gaji rendah, alasan klasik mengapa kemudian masyarakat menuding bahwa birokrasi kita menjadi tidak efesien dan efektif, penuh liku dan bertele-tele, tentu saja ditambah budaya atau etis kerja yang rendah, kinerja berkaitan erat dengan capaian dan sasaran terutama pelayan itu tadi, dan tentu tidak semuanya begitu.

Contohnya Ibuku, tidak ada penghasilan lain kecuali penerimaan yang tertera pada Amprah Gaji, setelah dipotong oleh berbagai potongan, potongan uang sosial, uang KORPRI, simpanan pokok dan wajib koperasi, belum lagi potongan hutang yang hampir 60% yang hampir menyedot dan sangat mempengaruhi likuiditas keluarga kami, bantuan insidentil yang hampir tiap menerima gaji, semisal uang MTQ, uang pramuka, uang duka, uang ini dan itu, nyaris sehalaman penuh, tapi Insya Allah, gaji itu cukup dan dicukup-cukupkan, kalau tidak tentu ibuku takkan sanggup menembus gelapnya hutan basah Pinti kayu, Kajai sabatang, bukik sibunian, Andaleh, hingga Sariak Alahan Tigo,

Ibu sesosok Capella di angkasa untuk kaum guru, Bintang paling benderang yang menghiasi rasi Auriga, rasi belahan utara yang bermakna Pengendara Kereta perang, dan jujur pada garis edarnya, seperti, Ayahku, apalah artinya 45 tahun cahaya.

Gaji bukanlah satu-satunya daya tarik dalam pengabdian?.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar