Kamis, 22 Januari 2009

CELANA SEORANG SAHABAT

BAB 13

Aku bergegas ke Batang Gumanti, kendati kabut masih berkeliaran, dingin mencekam membius tulang, palaing tidak suhu rendah dari 14 derjat dan ini seperti pagi yang lain, Aku terkasiap ketika etekku Ante Jin mengabarkan bahwa Ayah ku telah dibawa PO Telaga Indah bialng beliau keliling Sumatera Barat dalam rangka darma wisata.

Dengan rombongan SD 03 Talang Babungo, ada banyak murid dan guru yang ikut, murid yang berpartisipasi terutama kelas 5 dan kelas 6 sementara kendati ayahku guru di SD ini, aku masih kelas dua dan tentu jika aku mempergunakan fasilitas murid jelas ditolak, tetapi Ante Jin memamansiku bahwa tadi ayah menunggumu, saying kamu terlalu pulas.

Darahku tersirap, mendidih dan sejurus aku sudah meraung raung kesetanan, berlari dan terus berlari, ya kesana keujung barat, melewati jembatan besi peninggalan Belanda, jembatan yang selalu kulalaui saban hari, jembatan tempakku bermain main, merentangkan tangan dibantaran jembatan, mengusap dari satu ujung keujung yang lain, pulang dan pergi, meludah diatas bantaran, dan kawan kecilku Budi juga melakukan hal yang sama, diujung baru aku terkekah, air lurku tidak lagi teronggok diatas bantaran jembatan, terlindas telapan tangan budi, dikejauan Telaga Indah samar samar, sepertinya sedang berhenti.

Aku menangis, meratap. Menjerit sejadi jadinya, memanggil ayahku, aku tak peduli walau orang orang memandangku aneh, akuterus berlari sekencang kijang dikejar macan, spidometer kecepatankku telah menunjukkan angka maksimal, dan mobil beringsut pelan-pelan derunya menggelegar. “Stop” teriakkan knek menghentikan laju Telaga Indah sebuah hentakan rem mendadak, “ Anak Pak Ustad” bilang knek dengan wajah bertanya, Aku Naik dan murid murid salaing berpandanagan, guru-guru tertawa berderai mereka juga ternyata senang, seperti perasaan senanagku saat ini.

Mobil melaju membawa sukacitaku yang tek tertara, dan persis didaun telinga terdengar geraham ayah berbunyi gemeratuk, aku baru sadar bahwa celana ku bolong, sepertikacamata, dan ayah mencubitku, mobil kembali riuh, dan Pak Harun terkekeh kekeh sampai matanya berair, buk Nurni, tersenyum senyum seorang guru yang benar benar iklas, dan Ayah hanya menyeringai, seperti kuda hanyut dibawa air bah, Aneh dan jenaka.

Untung saja durasi comedian dengan judul Celana Bolong, Kacamata itu tidak lama, Dodi, lah yang menyelamtkanku, sebuah celana pinjaman menjadi andalanku sehngga Keliling Sumatera Barat dapat kulalui dengan kepala tegak dan Bagi Ayah Insiden ini biasa saja dan tidak terlalu signifikan dan saya tahu karakter Ayah, Ayah adalah orang yang tahan banting, tidak mmudah menyerah, cimeeh, cemooh bukanlah sebuah tantangan yang berarti dan beliau seperti biasa dan kebiasaan beliau.

Jadilah darma Wisata kali ini dan pertaama kali bagiku, begitu indah dn mengesankan, apalagi Citra Kasmili kakak dari Citra Kasmila dia baik kepadaku, kalau dia jajan maka akupun akan tersapu jajannanya, Ibu Nurni Akan mentraktirku, aku tahu kenapa ayah tidak mengikutsertakan salah satu alasannya adalah ya itu tadi kantongnya ayah sedang bermasalah, Kanker.

Untung saja semua akomodasi dan komsumsi ku di handle Buk Nurni, dan jadilah aku seperti dua saudara dengan Citra Kasmili, kalau Mili jajan es aku pasti dapat bagian yang sama, kalau mili makan sate aku dpat sate pula, sesuatu yang indah, dan keindahan it uterus berlanjut dalam pusaran waktu yang berlalu.

JAGUNG REBUS UNTUK AYAH

BAB 4

Sebuah perjalan jauh dan melelahkan, aku baru kali pertama naik benda aneh seperti ini, tidak seperti bus yang selalu hilir mudik dikampungku saban pagi setelah subuh, tidak seperti PO Sinar Lengayang, yang tampilannya elegan, dan nyaman, tetapi ketika turun dari bus Desa Bakti diterminal Alahan Panjang, sebuah kendaraan aneh itu telah menunggui kami.

Seorang pria berjambang, berkacamata hitam menghampiri jinjingan ibu dan tampa babibu mengankat jinjingan tas Ibu, dan kemudian mempersilahkan naik keats mobil aneh ini.

Mobil itu kemudian kuketahui adalah keluaran tahun 1956, dengan spesifikasi kepalanya menonjol kedepan, hamper sepertiga dari keseluruhan panjang mobil itu, ada enam roda yang kesemuanya aneh dan tidak seperti mobil sinar lengayang atau gunung kulam, dan yang lebih aneh lagi, mobilitu memilki bunyi klakson yang akan membuat hati kita ringkih, klakson yang bernyanyi laksana suara saluang, atau musik khas minang yang selalu dinyanyikan efrinon.

Suaranya tentu memecahkan keheningan, Jika Oto anaeh ini lewat, para petani berhenti sejenak, takzim, suara nyayian klasonnya yang nyaris dan mendayu meredakan kepenatan dari segala aktivitas yang sedang dilakukan.

Disepanjang perjalanan yang menyisiri punggung bukit bariasan, alahan Panjang dan Talang Babungo, kendati jaraknya tidak lebih dari 15 Km tetapi karena kondisi infrastruktur yang masih belum layak maka perjalanan itu ditempuh dengan sedikit tambahan waktu dan tingkat rresiko yang sewaktu waktu datang, maut tentu tidak akan segan segan untuk menjemput jika sang sopir tidak bisa mengendalikan diri.

Tidak mobilnya saja yang aneh, sopirnya juga rada aneh, jambangnya seperti rumput liar yang menyemak di rimbo takapuang, sebuah topi berdaun lebar bertengger di rambutnya yang kribo, dan agak gonrong tetapi sangat tebal, dan sebuah kaca mata hitam yang selalu setia bertengger di pangkal hidungnya yang besar dan agak bungkuk. Seperti layaknya Cowboy.

Beberapa orang penumpang sebenarnya ingin merebahkan kepala, tetapi joknya terlalu keras untuk menjadi sandaran kepala, dan bisa bisa ka nada sedikit benjolan ketiak peumpang tidak bisa mengendalikan kantuknya akibat ternatuk, ternyata sopir aneh ini sudah mendapat pesanan dari Ayah untuk membawa kami Talang Babungo, negeri baru, dan temapt ayahku mengabdi sebagai guru.

Mobil itu mendadak berhenti, dan sang sopir bergegas turun seperti sorang sopir pribadi yang mempersialhkan tuan nyonya turun, dalam benakku bagaimana pula ayahku menegenl orang ini, aku tahu ayah adalah orang surau, dia akan gamang bertutur dengan orng seperti itu, tetapi sepertinya orang itu sepertinya sudah begitu denkat dan hormat kepada ayah, dan ini terasa sekali ketika sebagaian penumpang buka pintu dan turun sendiri, bahkan barang bawaanya ya ditangani sendiri, sang Sopir memelototi para penumpang dari sebuah kacaspion besar yang tidak lagi utuh, sepertinya kaca yang dilempari para pengunjuk rasa benpendar membentuk jejaring seperti jarring laba laba.

Ayahku berbasa basi, dan sang sopir itu ternyata juga bernama aneh, Sariak. Serba aneh memang, baru kali ini aku menemui sesuatu yang serba aneh dan nampaknya aku mulai suka keanenhan ini, baru saja kakiku menginjak tanah, aku merasa peraasaan yang luar biasa antara perasaan senang dan gembira hadir di tempat baru dan dengan orang-orang baru, rumah rumah berjejer saling berhimpitan, ada sebuah bangunan masjid besar, dan mencolok, kontras sekali dengan seluruh bangunan yang ada di nagari itu. Baitusshafa, begitu nama masjid itu, konon kabarnya masjid besar dan megah itu adalah bantuan dari Raja Arab Saudi, masuk akal kalau kemudian sebuah bangunan berlantai dua berdiri ditengah tengah pemukiman penduduk. Megah dan elegan.

Ternyata ayah tinggal disebuah rumah papan yang juga unik, lantainya agak tinggi, dan untuknaik keatas rumah kita harus menaikin 6 anak tanggga, ada satu ruangan tamudiabatasi dua bidang dinding, dan satu kamar tidur, sementara dibahagian belakang rumah ada ruangan yang agak lapang, sepertinya ruangan ini adalah ruangan yang berfungsi sebagai ruangan makan, sekaligus ruangan keluarga, jika sedang ada tamu ruangan ini berfungsi juga sebagai tempat tidur, dan tentu saja ada bangunan yang seeprtinya tertemel kediding belakang dan berfungsi sebagai dapur. Rumah ini adalah rumah tinggal dan dan siempunya rumah menag bermukin agak jauh di tepi gunung menjagai ternak dan perkebunannya.

Pertemuan pertama semenjak ayah meninggalkan danm merantau kesini, hamper enam bulan dan tentu saja aku rindu bukan kepalang, kepalaku diusap usap ayah aku tidak digendong karena sudah terlalu besar untuk digendong, dan tentu saja keriangan yang tak terhingga, begitu juga Ibu, kami bertiga berbincang panjang lebar, tentang kampong, tentang sawah, tentang rimbo takapuang,, tentang jabatan Kades yang ditingalkan, tentang proyek CWC kelapa hibrida yang ayah rintis, tentang sanak famili yang antusian dengan berbagai gossip kampong, atau tentang siapa siapa yang masih memilih membujang atau tetap saja belum punya laki laki untuk mendampingi hidup, siapa siapa yang sudah mati berpulang, akibat apa, ditanam dimana, bagaimana istri dan anak keturunnya, atau cerita apa saja tentang aku dan saudara saudaraku. bahkan sampai jauh malam ayah dan ibu masih bercerita, suara yang makin sayup sayup dan hilang bersama rasa kantukku yang kian parah.

Hamper dua minggu aku dan ibu bersama ayah, melepas rindu, sementara kakak dan adikku tidak ikut serta, mereka dikampung diasuh Ayek Usi, saban sore aku kebagian mencari makanan ringan kalau tidak jagung rebus, ya jagung baker, aku hapal betul bahwa ayah selalu berpesan agar dicarikan jagung yang baru diangkat dari tungku, yang masih panas.

Setelah aku dewasa aku baru paham bahwa jagung itulah yang membuat hamper setiap dua tahun aku memiliki adik baru, kalau tidak jagung rebus ya jagung bakar, yang panas dan kalau yang sudah dingin agar direbus lagi hingga terasa panasnya, ayah dan ibu bercerita di interval waktu antara rumah dengan tempat kalau tidak jagung rebus ya jagung baker tapi yang masih panas, kalau sudah dingin ya dipanaskan, kata sandi yang kuhafal dan pada hari hari berikutnya tampa komando “ jagung rebus atau jagung baker yang masih panas, kalau sudah dingin ya dipanaskan” menjadi kalimat ajaib mengapa Ayah dan ibu terlihat sumringah. Lebih lebih ibu, sesuatu yang logis dan masuk akal berdasarkan kajian fitrah dan naluri manusia dewasa.

TUKANG PANGKAS DADAKAN

BAB 5

Jarak yang jauh antara Kambang dan Talang babungo, tampaknya menjadi salah satu bahan pertimbangan mengapa kemudian ayah memboyong kami, eksodus besar besaran terjadi, dan sebagain seorang kepala keluarga ayah mengerti betul bahwa tidak elok memisahkan diri dengan istri dan anak anak.

El Kakakku diboyong ayah duluan karena dia perempuan setidaknya akan dapat membatu ayah mengemasi persoalan tetek bengek, memasak, menyapu atau sekedar mencuci piring, yang jelas untuk memasak dan menggulai ayah belum akan memberikan otonomi penuh, untuk urusan masak memasak masih ayah handle sendiri, karena itu menyngkut liddah dan rasa, jadi ya harus ditangai sendiri.

Bahkan ayah juga dengan telaten menyuci pakaian, setrika, sampai bercocok tanam, dihamparan halaman samping rumah dan depan, tumbuh jenis kacang-kacangan, kunyit, ruku-ruku, ada juga ubi kayu, ubi jalar dan jagung, setap inchi lahan yang kosong menjadi bulan-bulanan cangkul ayah, tidak bisa tidak untuk seorang Guru, tidak saja menjadi taulaan di sekolah saja, eksistensi sebagai guru menjadi motor bagi persoalan soasil kemasyarakatan.

Saat itu belum ada salon untuk anak perempuan, ayah menangani sendiri urusan gunting mengunting rambut Unang, bahkan seluruh potongan rambut kami beliau yang ciptakan dan jadilah berbagai versi potongan rambut yang belum ada dalam literature tata rias rambut, semuanya memang serba alam, bakat alam tepatnya, terkadang bisa jugalah dikatakan kelewat inovatif karena model rambut guntingan ayah yang menyebabkan aku malu dan mogok sekolah selama seminggu, bayangkan kepalaku memang tidak cocok untuk guntingan cepak, eh setelah beberapa lama guntingan berkelbat dikepalaku, kepala terasa ringan, enteng sekali, setelah kupelototi ternyata, yang tersisa dikepalaku adalah aar akar rambut saja, kontan saja aku protes dan salah satu aksi protesku itu, ya mogok sekolah dan ayahpun paham, namun atas saran ibu, resep untuk mempercepat tumbuh rambut adalah dengan sering sering mandi keramas, kalau tidak ada shampoo cukup dengan sabun cap tombak pun tidak apalah. Yang terpenting kepala tempang-ku tidak membuat kawam kawanku terpingkl pingkal.

Seorang bapak bapak datang ketempat praktek “salon” ayah, klien khusus bahkan yang perdana datang, entas siapa pula yang promosi, pokoknya bapak itu tetp yakin bahwa ayah mampu merias rambutnya, barangkali bapak itu ingin pula mengikuti mode terbaru rancangan ayah, aku mulai kuatir dan jangan jangan persoalan ini akan menjadi masalah, kalau hasilnya tidak memuasakan si bapak tentu saja ayah akan jadi sasaran kekesalan orang itu.

Sepintas orang itu tampilannya seperti “jawara kampong” perawakannya tinggi besar, wajahnya lumayan sangar, kumis lebat melintang, dan jiKa dia tertawa giginya kokoh kendati berkarat ulah nikotin yang mengasahnya saban waktu. Dia bukalah pri simpatik dan jika itu terjadi bagaimana pula nasib ayah dan tentu jika firasatku betul maka akan berimbas langsung kepada kami anak anaknya, tidak sebatas efek domino saja tetapi sudah menjadi terdapak langsung tampa ampun.

“ Ma’af kebetulan saya hanya bisa untuk anak anak saya saja” ayak mengelak memberi alasan.
“Coba jugalah Ustadz bagi saya tidak apa apa, rambut saya sudah terlalu panjang, dan seperti model anak ustad itu”

Sembari mengarahkan telunjuknya kepadaku, ia sepertinya tertarik juga dengan model rambutku, kalau dia tahu persis kasusnya saya pasti dia menolak. “ tidak ada lagi alasan bagiayah menolak sehingga mau tak mau ayah melakukan tugasnya, aku lihat mimic ayah agak serius, dan dengan hati hati sekali ayah mempermaikan guntingnya diatas kepala pria itu, ayah seperti sopir yang sedang belajar nyetir, hati-hati sekali dan sesekali ayah melirik pria itu dari kaca yang dipegang.

“ Auuuuuu, takapik, takapik, ……..ou…………….ou.ooooooooooooooooooo”
Pria itu mengaduh, melolong, jelas sekali ayahku telah melakukan kesalahan, telinga pria itu berdarah, agaknya gunting ayah berkelebat terlalu lincah.

“ maaf pak, saya tidak sengaja” kalau disengaja pasti lain ceritanya pikirku membathin, ayahku menyeringai miris, seperti anak yang siap dimarahi guru, orang itu hanya diam, parasnya masam, tetapi dia tetap diam dan tidak berkata kata, sepertinya dia terbawa emosi, kesal.

BN GADIS BUKAN JANDAPUN TIDAK

BAB 6

Ayah, aku dan Si Deh, tetangga depan rumah, seperti biasa sibuk memetut- matut tanaman kacang, kacang buncis dan kacang rambat , dinamakan kacang rambat ya karena hidupnya merambat, kalau tidak diberi junjungan maka jenis kacangan ini tidak akan berkembang, sama halnya dengan kacang panjang butuh junjungan, kalau tidak produktivitasnya tentu tidak maksimal, justru karena itu, aku dan Si deh itu, sering kebagian tugas untuk mencari junjungan kacang.

Kenapa harus aku dan Si Deh, yang jelas setiap acara makan digelar tampa kacang buncis dan kaang rambat akulah yang selalu melakukan protes, menu ini harus selalu tersaji, kalau tidak suasana makan akan sedikit gaduh dan terganngu, nah mencari junjungan kacang merupakan salah satu bentuk konsesi yang harus kutunaikan dengan iklas, tepat cepat sudaah pasti harus cermat, pemilihan ranting, tinggi ranting, dan daya tahan rantingnya.

sementara si deh merupakan salah seorang tetangga yang juga dengan rutin melakukan panen, baik legal maupun secara ilegal, bagi si Deh ayahku sidah dipanggilnya mamak jadi tak ada alasan membat jurang dan jarak dengan Si Deh, toh bagi sideh, bergaul dengan keluarga ”Pak Guru” sapaan ayahku, disamping Pak Ustad, dan mamak, merupakan sesuatu kehormatan tersendiri, seperti orang kampung ku dikenal Bupati, Sideh termasuk yang memahami masalah junjungan ini dengan lebih baik tentunya dari pengetahuan ku yang serba terbatas, terutama soal ranting rantingan kayu, lagian Si Deh tentu punya referensi lokasi ranting yang mudah diakses.

Lokasi yang paling dekat adalah di samping rumah Si BN, aku memanggilnya etek, pernah sekali aku tambahkan kata BN aku disemprotnya haabis habisan, ” ang anak ustad, guru dak bataratik” aku terkejut bukan kepalang, kenapa pula rupanya bukankah orang orang memaanggilnya BN, kenapa aku tidak boleh memanggilnya Tek BN? Atau jangan jangan dia tersinggung ketika suatu kali permohonannya memanen kacang aku batalkan, pasalnya kacang itu baru disemprot pakai insektisida, dia tidak percaya dan cemberut, karena aku sering menyembprot kacang itu dengan air biasa, sekedar untuk menakut nakuti warga untuk tidak.

” mencoba merayu ayah: untuk segenggam kacang?”. tapi kali ini insectisida benaran, dan dia tetap tidak percaya, tetapi aku ngotot tidak membolehkan si Tek BN itu masuk kewilayah perkebunannku dan Si Deh pun sudah menggertak,
” Beko mati uni, Ko, baru diracun tumah”.
” Ba’a den ang panggia BN, bila ayah waang den palaki” Tek BN yang masih montot dan terlihat masih padat itu mencak mencak,
”ang simpilik kariang”, cubo ang ambiak kayu dibalakang ruamah den” dia terus mencirotet, seperti suara rentetan AK 47 yang membabi buta.

Dari Si Deh aku baru paham, wajar saja Tek BN tersinggung, BN adalah inisial sakti dan menyakitkan bathinnya, kendati dia sering kawain cerai, tetapi dia tetap tak sudi di sebut sebagai BN, kendati orang sering mencibir dan mengunjingkan terhadap eksistensi anaknya yang kemarin baru lahir.

Yang jelas untuk anak yang terakhir ini BN secara resmi tidak pernah menikah, dia menjadi tempat pelarian laki-laki yang butuh kehangatan, dan BN menyediakan diri untuk menampung semua ”sampah” yang kalau tidak disalurkan akan pecah menjadi letupan emosi, tindakan sembrono atau tumbuh menjadi jerawat batu.

Karena saking tidak terhitung entah sudah berapa lelaki yang menidurinya, maka gelar BN alias Bini Nagari melekat erat di setiap ekspresi dan namanya.

Untuk sekedar membujuk Tek BN memang saat ibi buka saat yang tepat, berangkali otaknya sudah kenyang dengan umpatan, carut marut, sumpah serapah dan sinisme yang dibangun ibu ibu yang tentu saja kuatir jangan-jangan ssuaminya menjadi korban berikutnya, Junjungan kacang yang berserakan dihalaman belakang pekarangan rumahnya tidak bisa lagi disentuh dengan leluasa.

Jadilah tugas kami hari ini mencari junjungan kacang tersendat dan nyaris tampa hasil apapun, sama seperti BN yang tampa junjungan, kacang rambat yang butuh junjungan harus rela menunggu hingga esok, ketika emosi tek BN benar benar reda setelah segenggam kacang ku serahkan sebagai barter. Aku tidak mau kacangku bernasib Gadis bukan Janda tidak, tampa junjungan, tampa status tentunya.




MENGAYUH NASIB KE MUARA SARIAK


BAB 7

Subuh sekali kami telah berkemas, dingin menggigit, kulihat ayah dan ibu sudah melipat wajahnya.

Ayek Aki jauh jauh datang dari Kambang, membawa sekeranjang cerita dan harapan, betapa besar rasa saying yang beliau perlihatkan kepada Ibu, seperti pertama kali kami menginjakkan kaki di tanaah berawa Rimbo Takapuang, Yek Aki adalah inspirator bagi kami terutama ibu.

Diantara etek-etekku, Ibu memang diberi fasilitas khusus untuk sekolah, jika 6 orang etek etekku paling jauh hingga sekolah kecamatan tapi Ibu, oleh Yek Aki diberi kesempatan dan fasilitas lebih, sekolah di Padang,

Sebuah kesempatan yang langka, ketika belum banyak orang yang mampu menyekolahkan anaknya jauh dari ketiak emak dan bapaknya, Ayek aki dengan Haqqul Yakin memberikan kesempatan kepada Ibu menuntut Ilmu di Kota Impian, kota yang banya diperbincangkan, Padang Kota tercinta.

Kesempatan itu tentu menjadi kebanggaan bagi Ibu, tentu saja Yek Aki memberikan semacam “kontrak” agar bersungguh-sungguh, tidak melupakan kodrat dan melupakan budaya yang selama ini sudah mendarah daging, di doktrinkan ke sanubari setiap akan yang akan merantau, Pandai pandailah di rantau, karena Karatau madang dihulu babuah babungo balun marantau anak gadih dahulu di kampong paguno balu”

Kendati sudah agak terlambat, ibu diterima sebagai Guru PNS di salah satu Sekolah dasar (SD) di kenagarian Sariak Alahan Tigo, sebuah buah jerih payah tidak saja ibu tetapi Yek Aki yang berharap, karena ibu pulalhlah satu satunya anak beliau yang makan gaji pemerintah, selebihnya, istilah beliau 'hampo'.

Hari ini adalah saat pengguntingan pita atau teriakan star, pertama kami bersama sama melepas ibu ke medan tugas di sebuah tempat yang sulit kami bayangkan sebelumnnya, Talang Babungo bukanlah tempat terakhir aliran sungai lembanh Gumanti, disepanjang aliran sungai sampai jauh ke Muara Jambi sana, ada nagari nagari yang butuh sentuhan, nagari nagari yang tersuruk dibalik rimba, yang sulit diakses dan saban hari disungkup rutinitas dan berakhir dalam dunia tempurung.

Sariak Alahan Tigo, SD tempat ibu bertugas persis bertengger dipinggang gunung, jika sekelilingnya hutan lebat dan dikelilingi gunung, menghambat pandangan mata, dibawah mengalir air batang gumanti, yang kelem tapi deras, berbunyi dalam sunyi dan itulah satu satunya simponi alam yang dihadirkan sang pencipta.

Selebihnya diam, termasuk jalan yang meliuk liuk, persis didepan SD sebuah persimbangan, jika jalan diurai belok kekiri, maka kita akan sempai di Pasar Sariak Diateh, berhulu di Nagari Talok, dengan medan yang menanjak dan jurang yang menganga.

Jika jalan Talang Babung0 – Sariak Alahan Tigo terus tampa berbelok kemanapun maka negeri ujung adalah Sungai Abu.

SD itu, masih meninggalkan kenangan tentang keasrian sebuah sekolah Inpres, dan ini amat jelas dari sisa bangunan yang masih terlihat kokoh, kendati disana sini memnag butuh perawatan, tetapi kesannya yang tersimpul masih layak dijadikan sebagai tempat sekolah.


SEPEDA MINI DAN KUDA BEBAN

BAB 8

Akibat jalan yang becek dan berlubang, Oto Si Sariak seringkali terpaksa “istirahat” dan bermalam dalam kubangan, hingga ada pertolongan pertama untuk as yang patah, ban kempes, atau mesin tidak berfungsi, mati mendadak seperti orang kena serangan jantung, tiba-tiba diam, dan tidak bergerak.

Oto Aneh yang sesekali waktu mencoba menerobos ketangguhan sirkuit Talang Babungo -Alahan Panjang, yang terkesan angker dan membuat nyali mengerucut,

Dan sariak adalah satu satunya sopir yang memiliki nyali sempurna, dia lelaki berselera pantang meyerah, bagi yang dapat menaklukkan jalan berbatu cadang, liat dan licin serta mampu menempuh dalam waktu yang relatif bagus maka yang jika dapat ditaklukkan dalam wamtu yang pas, maka sebuah piala penghargaan sebagai crosser alam terbuka atau sallon test wajar diberikan,

Tetapi hari ini adalah hari yang sial, Oto Si Sariak meraung raung, roda-rodanya yang kokoh berputar putar tampa ampun, seakan berlari dikejar hantu, terasa berat, dan emosional.

Bukan Si Sariak namanya jika persoalan seperti ini tak dapat diatasi, karena sebagai sopir berjam terbang dan pengalaman penuh, medan sepeerti ini adalah makan hariannya, jika rute Alahan Panjang- Talang Babungo lebih lembut, rute ini terkenal garang dan ganas, tidak ada ampun salah kendali disisi kanan dan kiri ngarai menganga siap menerkam, bisa bisa jatuh senin, kamis baru sampai dibawah ditepi aliran Batang Gumanti, tentu kalau singgahpula di batang pohon.hari kamis subuh baru jatuh benaran.

“ Mudah-mudahan ada diantara salah seorang murid ayah atau ibu yang nantinya yang jadi Bupati atau Gubernur, sehingga infrastruktur jalan ini dibangun,” ujar ayah.
Memang keterisoliran paling dominan disebabkan sarana parasana jalan yang tidak kunjung dibenahi, sehingga kalaupun produktivitas sawah ladang atau rimba tersedia tetapi tampa didukung sektor ini sama saja dengan membunuh kaum pinggiran dan mereka mati penasaran dalam keterisolasian.

Manakala negara belum mampu memberikan berbagai fasilitas dasar dimaksud maka negara juga harus bertanggungjawab terhadap perbagai ekses yang timbul, salah satunya keterbelakangan, kebodohan.

Justru pada saat inilah sebuah keputusan luar biasa diperoleh ibu, mengabdi didaerah kaya, kaya alamnya, kaya sopan santun dan etika serta kaya akan kermahtamaan ciri khas, orang terkungkung.

Si Sariak sebagai pelaku bisnis transportasi tentu disatu sisi bagaimana mempertahankan usaha trasnportasinya agar tetap bertahan, atau disisi lain juga menginginkan beruabahn pada infrastruktur terutama jalan, jika kemungkinan pertama, maka usaha mobil aneh Si Saraik akan tetap survive, dan mobil aneh tetap menyanyi sepanjang hari, kalau jalan sudah dibenahi pun akan terjadi berbagai kemungkinan, bagi si Sariak menjadi dilematis sekali, jalan buruk susah, kalaupun mulus si Besi aneh akan masuk mesium menjadi kenanagan terindah.

Justru sebagai seorang guru, Ibu harus dituntut selalau melaksanakan segenap tugas dengan penuh tanggungjawab, korupsi waktu tentu menjadi lawan pertama dan penuh tantangan, jika kalah, moralitas pendidkan dipertaruhkan, tentu saja persoalan sarana transportasi menjadi salah satu prioritas, ibu tentu tidak mungkin pula saban waktu mempergunakan oto aneh Si Saariak, disamping berat diongkos, tidak efisien waktu dan tingkat keselatan yang rendah.

Sebuah sepeda mini, merek Sanky menjadi pilihan Ibu, posturnya yang cantik, sporti, elegan, anggun, dan sesuai dengan karakter wanita, sebuah kernjang dibagian depan dan boncengan yang kukuh, tentu ibu tidak salah memilih.

Saban waktu sepeda itu berpacu, menerobos pagi yang masih beku, ibu kayuh sepeda tampa menoleh kebekang, ketika kami lelap dalam tidur, aku masih merasakan hangat belaian tangganya, setiap akan berangkat, tanggannya mengusap kami satu persatu, sebuah getaran hebat menggangu sukma, Ibu seolah berkata “ ibu berangkat lelaplah kalian dalam damai, demi sebuah pengabdian, ibu akan pergi, nak”.

Sesekali aku sempat juga mengatarkan ibu kehalaman, sampai ibu benar benar hilangan dari pandanganku, ada perasaan banggga, ternyata ibu bukanlah seorang wanita yang lemah dan mudah patah, ibu bagiku seorang pejuang, ya pejuang bagi masyakat jauh, jauh di sariak Alahan Tigo, ibu layak mendapatkan gelar, lebih dari sekedar pahlawan tampa tanda jasa, gelar itu kelak akan ku sematkan, di sanubari ibu, didalam sebuah keinginannya yang besar untuk memberikan didikan dan ajaran tentang hidup.

Ibu memilih cari yang tidak biasa, berangkat pagi selepas subuh, ketika orang orang masih mencintai selimut, dan kembali disaat para gadis kampung selesai bersolek dan tegak diberanda beranda kalaua kalau ada pemuda yang terpesona, sebuah rutinitas yang dinamis, energik, patriotik dan syaratnya pasti iklas.

Tak jarang dalam perjalanan yang jauh itu, ibu bertemu dengan berbagai hambatan dan tantangan, bintang buas, babi, kera, ular, orang gila, tebing yang runtuh, longsor, hujan lebat, kabut tebal, atau bunyian yang aneh dan tidak pernah beliau dengan sebelumnya, lolongan, gteriakan, bunyi berdetak patah, mendesis, dan petir halilintar,.

Surutkah nyali ibu, ternyata ibu memahami hakikat tentang hidup dan mahakasih Tuhan, sebuah perjalanan yang sesunggunya sudah diatur, ada satelit mata mata milik tuhan yang mengawasi perjalanan ibu, setelit itu milik Allah dan semua manusia memilikinya, tentu saja ada yang on dan ada yang off .

KISAH SEPASANG SANDAL JEPIT

BAB 10

Ada yang unik, Batang gumanti saban waktu ramai dikunjungi, terutama disepanjang aliran yang melalui pemukiman penduduk, sungai yang berhulu dari danau diatas itu, memang menjadi salah satu andalan bagi masyarakat guna mencukupi kebutuhan akan air, kecuali air minum, semua aktivitas dilakukan dialiran ini, mulai mandi, mencuci pakaian, menagkap ikan, buang hajat, sampai berthaharah.

Baitush Shafa persis berada diatas Batang Gumanti, bangunan yang berdiri kokoh, jika aku bermain main dipuncaknya maka akan sangat jelas, bagaimana Talang Babungo dikelilingi perbukitan, kita serasa berada dalam kuali besar, nun jauh disana hamparan sawah berjenjang dan bertingkat tingkat, padi sepertinya sudah mendekati masa panen, beras solok akan keluar dan menjadi rebutan.


Dimasjid ini, gharinnya seorang yang sangat setia, bahkan untuk memantapkan pengabdiannya, pengurus sengaja mendirikan sebuah bangunan mini untuk menampung segala aktivitas sang gharim, dia dan istrinya memiliki beberapa anak,

Tetapi yang paling kuingat, dia memiliki dua orang anak yang memiliki dua sisi yang bertolak belakang, seperti siang dan malam

Al Arqam memiliki seorang adik Siman, Alarqam terlahir normal, siman sepertinya pernah terkena deman tinggi sehingga dalam tubuhnya yang dewasa bersemayam sikap kanak-kanak, dan tentu saja pergaulan sehari hari, dia sebenarnya mampu berkomunikasi, tetapi sering dianggap sebagai sebuah komunikasi tampa korelasi dan koneksi, tidak ada take and give, komunikasi seperti kita mendengar balita yang sedang belajar ngojeh.

Siman memang bukan makluk kutukan, dia bisa melakukan perbuatan atau tindakan layaknya manusia dewasa, termasuk dalam soal berbagai aktivitas ibadah, shalat misalnya, tapi sayang, semuanya sekali lagi seperti seorang anak yang membeo gerakan orang tua, beramal tampa makna dan muatan apapun, kepalanya liar, pandangannya melayang kesegala penjuru mata angina, apalagi akalnya, ingatannya entah pergi kemana.

Al Arqam kendati agak kalem, namun ia sudah mampu menggantikan beberapa fungsi dan tugas bapaknya, memukul beduk pertanda waktu tiba, jadi muazin , dan kadang kala mengepel ubin masjid, menjemur tikar, membetulkan waktu papan shalat, memstel tone speakers atau sekedar memasang tonggak mik yang copot, bahkan menjadi imam.

selebihnya dia berdiri dipasar-pasar dengan sebuah bejana besar, agaknya berbahan dari plat atau seng, pria ini terlalu lugu dan agak terkesan pemalu, jalanya gontai tetapi dari parasnya terpancar semanagat dan dinamika.

Sebagai seorang pengusaha ekonomi bawah, produk kopi bubuk produksinya termasuk yang banyak dicari, laris. Dengan Aroma bau dan rasa yang menggoda sehingga menjadi idola bagi penngemar minum berkaffein itu.

Pagi sebelum berangkat sekolah, aku selalu sebelum mencebur ke dalam air bersuhu dibawah 15 derjat itu, aku selalu mengambil nafas,berkelumun sejadi jadinya, sepertinya ada rasa enggan menaggalkan kain sarung yang kupakai, “ wuih, air batang gumanti dingin menggigit tidak seperti batang lengayang, yang diam dan sejuk, tidak ekstrem seperti air” gumanku membathin.
Sejurus berikutnya, aku tersadar dari lamunan bahwa sandal jepitkan hanyut tertatih tatih menyisiri aliran batang Gumanti, yang berbatu-batu, dan aku berteriak-teriak, sayang tidak ada yang peduli, membantu sandakku, karena keburu jauh dan akhirnya hilang dalam liukan air yang beradu batu.

Aku masih melihat ada sedikit usaha dari Siman yang berlari kehilir, tertatih-tatih pula seperti perjalan sandal jepitku, tapi sepertinya akan sia sia belaka, karena siapa pula yang mau menyelamatkan sandal jepitku, karena resiko dingin lebih berharga dibanding sebelah sandal jepit itu.

Bahkan Al Arqam berusaha menghiburku “ Jangan terlalu bersedih Ndi, milik kita akan tetap menjadi milik kita dan tidak ada pula orang yang dapat mencegahnya, Allah itu maha kaya dan maha tahu” sebuah pelajaran pagi dari seorang yang mumpuni.

Tapi sebagai rasa bersalahku, maka yang sebelahnya lagi tetapku bawa pulang, sabagai barang bukti atau setidak tidaknya sebagai bahan laporan kepada Ibu.

Tiga bulan telah pula berlalu, Minggu ini Ibu akan ke Talang Babungo, karena memang sekali dua minggu aku dan ayah akan menyongsong ibu ke Pinti Kayu, tapi Minggu ini ada perubahan jadwal dan pesan kepala sekolah tempat ibu mengajar, Pak Abdul Muluk, Ibu ada kegiatan sekolah melatih anak anak menggambar dan membaca bacaan shalat, sehingga giliran aku dan ayah ke Sariak Alahan Tigo.

Seperti biasa, pagi sekali aku dan Ibu serta ayah menyisiri punggung ngarai hingga sampai ditepi Batang Gumanti, Rutinitas ibu mencuci pakaian, dan mandi, sambil bermain aku merendam badan di aliran air, memang tidak seektrem suhu talang babungo, sariak alahan tigo lebih sejuk, jika di talang babungo pohon kelapa meolak untuk berbuah, tetapi disariak kebalikannya, pohon kelapa berbuah lebat, dan bisa menghasilkan kelapa untuk kebuthan talang babungo,

aku terkejut karena ada sebuah benda tersangkut di tepi tepian sepertinya sebuah benda, benda yang pernah kukenal, ya itukan sandalku, sandal yang dulu hanyut, sandal yang baru seminggu menemani kakiku, aku berteriak girang, ayah dan ibu heran, dan mereka pun mematur matut benda temuan ku, untuk ikut memastikan bahwa itu benar benar sandal jepitku yang pernah hanyut dialiran batang gumanti,

Aku sepertinya tidak percaya sebuah kebetulan ataukan sebuah perjalan yang sudah diatur tuhan? Bukankah selembar daun yang jatuh dan terkulai menjadi pengetahuan Allah, apalagi ini sendalku yang kubanggakan kepada teman temanku, sebuah sandal baru, baru seminggu kumiliki tiba tiba hilang ditelan aliran batang gumanti, ya sendalku disisi sandal itu masih terukir namaku, karena setiap memiliki sendadl baru aku akan selalu mengukir namaku di sampingnya, karena bisa saja ada yang usil kemudian berusaha untuk memilikinya dengan berbagai cara. Sebuah keajaiban tuhan.

SATE KUDA DAN MARTINA NAVRATILOVA

BAB 14

Bukit tinggi masih berselimut, dingin menggigit, tetapi bagi kami penumpang telaga indah, dingin bukit tinggi belum seberapa jika dipersandingkan dengan dinginnya malam di alahan panjang atau diTalang Babungo.

Yang jadi soal, kami terlalu pagi untuk menjadi tamu Bukit Tinggi, sedari pagi kemarin telaga indah berlari, berhenti sebentar didanau singkarak, meningglkan Ikan bilih yang sempat menyambut kami dipingggiran danau, dan tentu saja sedikit oleh oleh kuhadiahkan pada para bilih itu, karena ketika di Batang Gumanti, sampah yang tersimpan diperutku tak jadi kubuang, dan inilah saatnya untuk bersedekah pada ikan khas Danau Singkarak, barangkali segerombolan ikan itu telah merasa puas dan berterima kasih, saat Telaga Indah kembali berlari. Dan melepas lelah di Batu sangkar.

Dakam rute perjalan Batu sangkar memang menjadi salah satu tujuan yang akan dilihat, sebagai kota budaya batusangkar memang menjanjikan sebagai daerah wisata sejarah dan budaya, cagar budaya, situs dan benda purbakala menjadi salah satu daya tarik yang messti dikunjungi dikota ini, termasuk salah satunya Istaana Pagaruyuang.

Istana Pagaruayuanglah sebanrnya yang menjadi magnit paling besar bagi para wisatawan untuk berbetah betah di Batusangkar, nama yang aneh memang, tetapi batu sangkar membuat telaga indah dapat mengemasi persiapan energi untuk kembali hingga menjelang tengah malam berhasil memasuki Kota Wisata Bukit Tinggi.

Bukit Tinggi lah yang akan menjadi tempat paling memuaskan tidak saja bagi kami para rombongan tetapi Telaga Indah akan tidur dengan pulas, apalagi durasi perjalan melelahkan, dari Talang Babungo, melalui salimpat sebelum alahan Panjang, menyisiri kebun teh sehamparan mata memandang, jalannya seksi meliuk-liuk kanan kiri pemndangan tersaji begitu luar biasa dan menggugah, Lubuk Silasih adalah persimpanagn, belok kekiri, kita akan tersesat ke kota Padang, jalan yang harus dilalui adalah belok kekanan, karena kearah sanalah Danau Singkarak akan dituju, tentu sebelum menemui Alunan buih danau Singkarak, dan ikan bilih yang kalau digoreng akan sangat nikmat

Telaga Indah, meraung raung, mnembelah Bumi Nagari Cupak, dengan rumah penduduk yang hampir menyentuh bibir jalan, rumah toko berlantai tingkat, jalannya bergelombang seperti riak danau diatas dan dibawah, dan jarak makin dekat dengan Solok salayo, tentu saja sebelumnya kita menempuh Sukarami,

Di Solok salayo,Pusat Pemerintahan Kabupaten Solok, Kantor Bupati berdiri Gagah, tentu didalamnya ada orang orang terdidik, terlatih dan pintar, kalau tidak bisa bisa negara rugi untuk menyediakan bangunan sebagaus itu.

Kota solok sebenarnya beradik Kakak dengan Kabupaten Solok, di kota ini seperti juga Kabupaten solok, juga punya Kantor Sendiri, berada ditengah persawahan, tentu saja semuanya telah direncanakan dengan matang, mengapa ditengah sawah, bukti bahwa kemakmuran adalah cita-cita pemimpinnya.

Tidak banyak lagi yang bisa diceritakan karena saking lelahnya tampa terasa Telaga Indah sudah hampir merampungkan separoh tugasnya, mengantarkan rombongan besar keluarga besar SD No 3 Talang Babungo, studi wisata untuk menambah wawasan dan keterasingan.

Jika Buya Radhin Rahman Pulang Kampung, cerita beliau menjadi nyata dan connect, bagi kami dan sebagaian guru-guru, bukankah perjalan wisata sesuatu yang mahal dan langka?. Emngapa pula harus tertidur.?

Sakah satu kebaikan Citra Kasmili, selalu berbagi denganku, terutama soal makanan, jika ia minum cendol satu porsi akan jadi bagianku, jika ia beli buah buahan maka akan ada juga bagian untukku, salah satu keunggulanku adalah sangat antusian jika telah berkaitan dengan segala sesuatu yang beraroma makanan, kali ini sate, tepatnya sate Kuda.

seumur umur baru kali ini aku makan lontang dan deging yang berlidi itu adalah daging kuda, aku membayangkan kuda, kontan saja aku iba dan kasihan, bukankah kuda menjadi alat trasnportasi utama ke Sariak Alahan Tigo, ke Talaok, ke Pinti Kayu, Ke Sungai abu, kesariak diatas, Kuda mempunyai jasa besar bagi kelangsungan hidup murid murid ibuku, sanak keluarga murid murit itu, berkat pikulan kuda pula, ibuku dapat pasokan odol, sabun, minyak tanah, meniyak gorang, ikan asing, garam, lalu mengapa pula kuda yang disate?,

sebelum kudapatkan jawaban aroma sate yang gurih terlalu menggoda bagiku untuk tidak mencicipinya, ah persetan semuanya, inikan bukit tinggi, kawan, pasti kuda yang disembelih adalah kuda bukit tinggi, yang saban waktu mengantar para turis menjelajah kota, kuda yang tidak produktif, sudah tua dan tidak dapat lagi ditunggangi.

Dalam bergulatan itu, sebuah televisi hitam putih, mempertontonkan pertandingan tenis kelas dunia, sorang wanita berambut pirang berlari gesit kesana kemari, kedepan, kebelakang, kesamping, lincah dan dinamis, malam ini Martina Navratilova, akan mempertaruhkan reputasinya mempertahankan gelar Grand Slam yang yang pertama, dan aku juga sedang mempertaruhkan reputasi ibuku, memakan daging kuda, sama saja juga bahwa aku telah memakan sepeda mini ibuku.

PONDOK PENGIBULAN

BAB 16

Benar -benar siang yang sempurna, tuhan sedang melukis dan kanvasnya adalah langit biru.

Aku dan teman temanku, seperti biasa, sudah tiba dipondok, pondok yang justru menjadi rumah kedua bagi kami, letaknya jauh, seputaran pondok jika pandangan disapu terantuk pada tepi tepi batas bukit yang melingkar layaknya pagar. Hamparan persawahan nun sampai jauh sampai membentur dinding susunan pohon kelapa, sayang dibiarkan merimba, dan tetumbuhan seperti ilalalng, mensiang, rumput banto, eceng gondok, selebihnya tanaman khas persawahan seolah yang paling berkuasa dan tidak terlawan.

Sepanjang hamparan sesayut sayut pandangan bisa dilayangkan, seperti hamparan permadani hijau, sapi gembalaan kami begitu leluasa merancah, berpesta pora, mekan enak dan kenyang, padang rumput dan tumbuhan persawahan merupakan makan pilihan bagi sapi sapi yang dibiarkan lepas.

Wajar jika selepas sekolah, siang setelah zahur berlalu beberapa saat, gembala yang pagi tadi kami tambatkan, saatnya untuk lepas dan merdeka hingga sore menjelang, selebihnya hembusan angin sepoi sepoi, tak ada yang menghalagi tiba dipondok, melenakan kelopak mata, menyerang rasa kantuk.

Akhir akhir ini memang lahan yang begitu luas itu sering tidak diolah, kalaupun diolah, sekali musim saja dalam setahun, kalu biasanya sekali musim padi selesai maka tanam pengganti, seperti palawija, cabe, atau semaangka masih dibudidayakan, tapi belakangan Bapak-bapak, Uwan-awan, etek etek dan uda-uda yang sudah kuas kesawah merasa enggan beraktivitas disawah, tentu ada sesuatu masalah sehingga timbul rasa enggan berkubang lumpur.

Sawah tidak lagi memiliki daya tarik sehingga ditinggalkan, orang orang terbius hendak pergi merantau, menjalani falsafah masyarakat Minang, karatau madang dihulu babuah babungo balun, marantau bujang dahulu dikampuang paguno balun , merantau mengadu nasib.

Maka banyaklah anak muda kampungku yang pergi mengadu peruntungan, Tanah jawa dan semananjung Malaysia menjadi pilihan, sebuah cita cita mulia mambangkik batang tarandam , merengkuh masa depan yang lebih baik dan bermartabat, betulkah?

Entahlah waktu adalah saksi bagi semua cita cita dan harapan, mimpi mimpi yang bersemayam di benak pemuda pemuda kampungku patut diapresiasi, tetapi sayang, mereka ibarat tentera ke medan laga, tempa persiapan senjata dan bekal, jika hanya semangat dan keberanian saja, demi waktu mimpi mimpi itu akan sirna,

Akan kesawah ini jualah mereka kembali, berkubang dan berlumpur, berlunai mengadu peruntungan, mengharap tetesan rezki Allah yang Maha Pemurah. Maha Pemberi Rezki, tidak ada yang lain.

MERI DAN TERIMA KASIH CINTA

BAB 20

Siang yang membuat hatiku renyah, seorang lelaki renta tampa sengaja kusapa, bukan dengan sebuah kekaguman, sapa biasa saja, tanpa ekspresi dan intonasi, semuanya mengalir tampa ada riak dan kekaguman.

”Anak Muda, ada oleh-oleh untuk mu, untuk keinginanku, berkaryalah dari ladang kesusateraan” sebuah buku lusuh disodorkannya, kugapai tampa sebuah kekaguman apapun, bukankah lelaki itu sang pengarang buku yang ada dalam genggamanku, selintas kueja nama Soetan Boerhan Zainal sama dengan tulisan yang terukir di atas daun pintu rumahnya, kendati agak kesudut tulisannya mencolok, dan agak kebagian tengah, tertulis, ” Gadis Tanah Tepian, Akan Akoe toenggoe dikau di oejoeng zaman, .

” Buku itu kutulis dengan hati, patriotisme, dan pikiran yang terperas,” wajah yang penuh harap dan kemudian sepertinya sesuatu tengah bergejolak, dadanya bergemuruh, dan kesepian membalut sunyi.

Lelaki yang terlalu lelah untuk tetap mengabdi pada kehidupan dunia, terutama betapa keinginannya mengalirkan darah seninya pada sesorang, mungkin anak, tetapi sayang, hingga diusianya yang sangat renta, dia tidak punya siapa siapa, tidak punya pendamping hidup, kecuali buku.

Yang sampai saat ini masih membuatnya bertahan aadalah buku buku karyanya, buku buku yang sudah renta dan tidak menjanjikan, dan semenjak tiga dasawarsa terakhir, tidak adalagi karya yang dapat dihasilkannya, dan kalaupun ada yang berminat membaca karyanya adalah mahasiswa yang kebetulan sedang melakukan researc, itupun bukan mahasiswa yang mengambil studi di Dalam Negeri, tetapi umumnnya mahasiswa asing atau mahasiswa Indonesia yang sedang ditugasi mencari bahan bahan terutama menyangkut fakta sejarah pada masa penjajahan Belanda.

Angku Soetan Boeharn Zainal akhirnya menjadi teman curhatku, dan beliau mencurah begitu banyak air kedalam gelas kepalaku, menyangkut banyak hal terutama kesusasteraan yang mebuatku terinspirasi, dan suatu saat nanti, entah kapan aku akan menulis tentang sesuatu yang membuatku beruntung mengenal Angku Soetan BZ.

Dan seperti janji-janjiku bila buku perdanaku rampung, salah satu protitas orang yang akan mendapat buku Cuma Cuma dariku tentu saja Angku Soetan Zainal.

Bagaimana kalau beliau keburu meninggal sementara aku belum menulis barang sekalimatpun, atau kalaupun sudah selesai, mungkin angku sudah wafat, tulang belulang Angku sudah berserakan dan dagingnya sudah tidak ada lagi. Kepada siapa ahrus kutitipkan, jangankan anak keturunan, istripun beliau tak pernah merasakan,

”Angku pernah kecewa dan patah hati” desisnya suatu ketika.

Angku ada ada saja, patah hati bukanlah sifat lelaki, dan angku jangan menjebakku, aku bukan lelaki seperti angku, aku lelaki Angkupun lelaki, tetapi kita sungguh jauh berbeda, dalam kamusku tidak ada istilah patah hati angku, patah hati yang membuat angku sebatang kara, membuat angku tidak punya pewaris, kalau angku mati, maka angku mati penasaran, mati dalam keadaan merugi, pikirku membathin.

Merugi. Angku akan merugi karena tidak ada seorangpun yang akan menolong Angku dalam dunia lain yang akan Angku tempuh, alam barzag sampai masa penantian panjang, alam berbangkit, angku akan terlunta lunta tampa doa, seperti musafir yang kehausan,

Bukankah Pak Darman acapkali menyebutkan hanya ada tiga amalan yang pahalanya tidak terputus dan akan terus mengalir, dan yang berhak menolong Angku hanyalah anak keturunan, kecuali angku memberi sesuatu yang bermanfaat untuk hidup dan amal jahiriyah yang mengalirkan pahalanya sampai jauh laksana mata air yang tak kunjung habis.

” Kamu jangan mengejekku, aku bukan lelaki seperti yang kau bayangkan, tetapi aku berusaha menjadi lelaki yang sebenarnya, lelaki yang benar benar lelaki, bukan seperti lelaki sekarang, tak ada sedikitpun kesetiaan” Angku membuatku tak mengerti dan terpojok.

Angku jangan begitu, angku telah salah menilai, menilai dari perspektif angku sendiri, kalau itu yang angku lakukan angku akan terjebak ego, egoisme yang sulit untuk memahami diri angku sendiri, lagi lagi aku hanya sanggup membathin.

Aku tak ingin pula berpura pura merasa menjadi seorang pujangga, angku bukanlah tandinganku untuk berdebat terutama tentang masa lalu, dan kesetiaan, karena bagiku semuanya pekerjaan yang sia sia belaka, angku terlalu tangguh bagiku dan berdebatpun bukanlah solusi, ilmu belum selesai kucuri.

” Hei, anak muda, kau jangan jadi lelaki kucing air, lelaki yang mengganggap kelelakiannya, soal kelamin semata” Angku mendelik. Sembari menunjuk selangkangku, aku terkasiap sambil berkemas, kalau tidak bisa saja telunjuk angku mengenai perkakasku. Sesuatu yang menurutku tidak baik untuk pendidikan seks.

” Maafkan Aku Angku, aku kurang paham” kelitku,
” Bukan masalah paham atau tidak, tetapi kau harus mengusir jauh jauh pikiranmu yang sudah agak mulai rusak, terutama soal perempuan, buakankah kau sudah mengenal perempuan” Angku seperti mengajakku berkomunikasi dari hari ke hati, dan Aku tak perlu pula mengatakan bahawa aku sedang gencar gencarnya melobi si Meri, pasangan pawai Alegoris tempo hari, saat 17 belasan Agustus kemarin,

Meri menjadi teman sandingku, Bodinya berisi, gempal dan jelas Meri termasuk anak gadis yang selalu makan sebelum tidur, paling tidak ngemil, sosok Meri sering bermain dalam hanyalanku, dan menjadi salah seorang pemeran utama dalam mimpi-mimpiku, dan sepertinya aku akan terlibat dalam perangai anak muda sekarang, jatuh cinta.

Walau sementara, kenapa, aku sudah beberapa kali melayangkan surat, tetapi tak satupun yang berbalas, hatiku mulai resah, jangan jangan aku bertepuk sebelah tangan, tak bunyi dan mengibas angin.

Meri harus tahu bahwa aku terkasima, balutan Pakaian Adat Bali yang dikenakannya, hayalku menjadi liar, aku seperti kuda yang terlalu lama dalam kandang, darah muda ku mengalir dan Meri bersiaplah untuku.

” Angku betul, tetapi Gadis diujung zaman itu, bukankah mimpi angku yang tidak realistis, aku telah membacanya, angku harus segera bangun, angku tidak boleh bermimpi, karena masa dan zaman sudah bukan lagi mulik Angku” aku terpaksa agak berargumen dan ini adalah keberanian terbesar semenjak Angku menjadi mahaguruku. Angku tidak beraksi angku bisu dan diam, sepertinya angku tak mudah dipengaruhi.

Grand Design yang sudah lama kurenungkan kalau angku tidak juga berubah maka aku akan ajak angku bertarung, tepatnya dwitarung, gadis diujung zaman atau Meri, wanita akhir zaman.
Serombongan turis mancanegara tiba di Alahan Panjang, rombongan dari negeri Belanda, tiga orang gadis tempo Doeloe, berusia lanjut, berkepala tampa penutup, dan dua orang lelaki sepuh dan seorang pria sepertinya dialah yang menjadi kompas perjalan Mantan Kompeni itu. Berbicara serius dan angku sepertinya amat gembira dapat bercerita tentang masa lalunya, dan meraka sepertinya terlalu larut, dunia milik orang kompo dan aku sepertinya hanyal penumpang yang tidak kebagian tempat, seperti gelndangan yang terusir dari peron kareta.

Angku telah menemukan gadis akhir zamannya salah seorang dari tiga perempuan itu adalah cerita masa lalu angku, cerita tentang hati dan cinta yang tak berkesudahan, perang dan perdamaianlah yang membuat kisah itu terkubur dalam dalam, dan hati mereka berdua menympannya erat, tidak ada yang dapat membuka kecuali kunci yang mereka simpan.

Angku soetan Zainal Boerhan dan Nyanya Meneer Elizabeth dipusarakan dalam pandam Pakuburan suku Chaniago di Alahan Panjang dan menjadi cerita cinta dan pengorbannan paling romantis didunia, melebihi cerita Romeo dan juliet, Tenggelamnya Kapal Titanic, atau roman dibawah lindungan Ka’bah, apalagi dipersandingkan dengan roman populer picisan yang berselera rendah dan auratis. Gadis Tanah Tepian, Akan Akoe toenggoe dikau di oejoeng zaman?.

Angku laksana Zenith dan Nn Meneer bagai Capella, bintang paling cemerlang dalam rasi Auriga, rasi belahan utara yang bermakna Pengendara Kereta perang, dan Angku memang tidak salah, bintang ganda Capella, jujur pada garis edarnya, seperti Nn Menner, Capella jaauh, lebih jauh dari negeri Belanda, apalah artinya 45 tahun cahaya, dibanding cinta Angku Soetan, lintas masa, lintas generasi, lintas sejarah, lintas etnis, dan lintas karakter. Penjajah dan dijajah.

Seperti halnya Nn Meneer, angku Soetan, adalah juga seperti Ayahku menjadi Zenith, warisan cintanya, laksana zenith, Sebuah titik di langit yang terletak tepat diatas kepala, atau lebih tepatnya, titik yang terletak pada deklinasi +90° pada bola langit. Zenith adalah kutub dari sistem koordinat horisontal, dan secara geometris merupakan perpotongan antara bola langit dengan garis lurus yang ditarik dari pusat Bumi melalui lokasi setempat. Secara definisi, zenith adalah sembarang titik di sepanjang Meridian setempat, dan anda akan menemukan keindahan hidup termasuk janji Tuhan tentang Pertemuan, jodoh, maut dan rezki, seperti Angku dan gadis akhir zaman.






SEPEDA BUTUT

BAB 21

Agus, dan Igus adalah sohibku, kami tiga serangkai, laksana tungku, Agus dan Igus berbadang besar dan kukuh, dan aku yang paling tidak mewakili tipe orang Indonesia kebanyakan, agak kecil, perbandingan seperti jawi pesisir dan simental.

Jarak kampungku dengan sekolah tidak terlalu jauh dan sulit, kami hanya butuh 30 menit saja, kecuali kalau kondisi gawat dan darurat, kami tidak boleh telat barang sedetikpun, kalau terlambat tidak ada ampun, Pak Mahaindra, akan menghajar kami dengan hukuman. Untuk itu perlu sedikit ketergesan.

Pak Mahaindra sosok yang menjadi momok, beliau amat kukuh, apabila sudah memasuki wilayah kedisiplinan tidak ada tawar menaawar, hukum berlaku pada semua, semua warga civitas SMA Lengayang sama di depan hukum, tidak ada main uang, main mata atau tawar menawar, terutama Upit yang jago dalam soal rayu merayu , Pak Mahaindara tidak mempan dirayu, senyum manis upit berlalu tampa makna, apalagi kami yang tidak terbiasa tersenyum, apalagi tergelak akan sia-sia.

Sistem kedispilinan yang sangat kaku, standar, dan kami slalu waspada, untuk mata ajaran Pak Mahaindra, jadwal keberangkatan dimajukan, 15 menit lebih cepat, inilah yang menjadi siksaan terbesar bagi kami, kalau-kalau sepeda miniku atau tunggangan sepeda jantan Agus atau Igus bermasalah secara teknis, mogok, bukan karena kehabisan BBM tetapi ranjau dan batu kerikil yang membuat kami harus ekstra hati-hati.

Pak Mahaindra tidak sendiri, ada Buk Risdawati, yang dingin dan beku, tatapannya laksana elang, dua rahangnya kukuh gemeratak, Kimia bukanlah bidangku, itu menjadi bagian kegemaran Agus, sama halnya dengan Matematika, Fisika, sementara bagiku tetap seperti dulu, matematika dan segala turunanyan, sampai ke cicit-cicitnya, pokoknya yang berhubungan dengan rumus, hitung menghitung, kali, menambah, kecuali membagi, menjadi musuh otak kiriku. Jika ada sosok yang membuat hatiku gentar dan gemetar Buk Risdawati adalah salah satunya.

Avon menjadi bukti outentik ‘keganasan’ guru Kimia itu, salah dan shilaf, saat itu sedang berlangsung ulangan Kimia, salah satu yang paling tabu, tidak ada yang boleh celingak celinguk, mencontek, apalagi membuka buku atau jimat, pembaca, jimat adalah catatan kecil dan panjang, dilipat-lipat dan salah satu trik kecurangan konvensial dan paling banyak dipraktekkan.
“Avon, apa itu” bentak Buk Ris keras, suasa hening pecah, coretan-coretan yang ku buatpun ikut bergetar nyaliku ciut, aku persis di samping Avon, kecuranagan Avon berakibat Fatal.

“ Keluaaaaar” hardik Buk Ris seperti komandan upacara hari Kebangkitan Nasinal, suara Buk Ris Bertenaga dan tentu saja berenergi, sejurus kemudian kertas yang ada di tangan Avon disambar Buk Ris, bunyi gemerisik kertas yang tercerai berai, jawaban kimia Avon jatuh berkeping keping.

Avon berontak, berdiri spontan hendak pergi, tetapi kursi tempatnya duduk terlanjur jatuh, berisik, hentakan diluar kesadaran dan membuat Buk Ris mendidih, sebuah tamparan mendarat tepat di wajah Avon, tak terelakkan.

“Pplaaaak”

Tamparan di pipi Avon bukanlah kasus pertama, dari cerita yang beredar, telah banyak kasus kenakalan siswa yang beliau selesaikan dengan ‘elusan’ dan tidak ada yang bernyali, bahkan Eka sang ‘jawara’ sekolah kami, keder, apalagi Aku, Agus dan Igus, kami tipe orang udik, dan penakut?, orang yang tak pernah belajar karate, kungfu, atau taekwondo, tidak pernah, kalaupun ada sedikit kepandaian Silat dan itupun sudah kuno, ketinggalan zaman.

Wan Husin lebih sering kehabisan nafas, jurus silat yang diajarkannya kepada orang orang yang tidak berbakat. Jurus Silat Induk Ayam, begitu nama aliran silat itu, banyak diantara kami yang tidak yakin, namanya terlalu kampungan, Induk Ayam , bukankah ada nama yang lebih sangar dan seram, silat induk macan misalnya , silat macan ompong, atau silat kuda arab yang kedengarannya lebih perkasa dan jantan, tentu akan memberi efek lain, dibanding sekedar silat induk Ayam, leceh dan penuh cemooh.

Tentu saja Eka bukan lawan tanding kami, dan kami memang tidak masuk dalam daftar ‘jawara’ di SMA Lengayang, kami tidak akan mempu melawan jurus-jurus Eka yang terkenal, dia pemegang sabuk hitam Karate, sama seperti Buk Ris.

Ini fakta, bukan cerita saja, suatu siang yang garang, panas membakar ubun ubun, kami baru saja sampai digerbang sekolah, tiba-tiba sebuah tendangan tiba-tiba tak terduga mendarat dipunggung Agus. Igus dan Aku tersirap, jantung berdegup kencang sekali, spontanitas yang tidak lucu, Agus terhuyung huyung, seperti actor lagi Mandarin yang terkena tendangan Jet lee.
Mengapa Agus diserang?, mengapa kami tidak?, demi solidaritas ini tidak bisa dibiarkan, Agus harus dibela, dua tiga pukulan tanpa balas, dan darah kami mendidih,

“Kurang Ajar” desisku membathin, demi harga diri, demi nama tungku tigo sajarangan, demi tali tiga sepilin dan demi sepeda mini dan onthel, demi dedemit, demi..demikian.

Sebuah tendanganku hanya menembus angina, kosong dan hampa, Eka menyeringai, dan sejurus kemudian sesuatu mendarat persis di keningku, keras dan cepat, sungguh prakiraan yang sudah ku prakirakan, percuma Eka bukan sparing partner yang pas untuk anak silek, silek beraliran Induk Ayam. Aku terjengkang.

Igus mulai tak sabar, bodinya yang berisi, tinggi dan berkulit legam, tampangnya memang tidak lembut, lebih angker dari Eka sebenarnya, tetapi tidak pernah membuat gaduh, terpaksa turun gunung, ini tidak bisa dibiarkan, dan harus segera diselesaikan dengan cepat dan sigap, kekerasan harus dilawan dengan kekerasan, keras harus disandingkan dengan yang keras pula, filosofi air dilawan dengan air tidak berlaku, saat ini fostulat yang tepat, demi harga diri, Eka kami keroyok, menonton makin ramai, tiga lawan satu, pertandingan yang tidak seimbang.

Tetap saja Eka terlalu tangguh, badan yang besar tidak menjadi jaminan untuk menang, Tubuh Agus dan Igus, tidak banyak membantu, mereka sering sempoyongan, sementara aku memang jaga jarak, mataku masih nanar, dan penonton bertepuk riuh, siang yang makin hangat, dan kami menjadi tontonan seperti Ponger penjual obat kurap di Pasar Sabtu.

“ berhenti” suara bentakan, Buk Risdawati tiba tiba muncul, satu persaatu kami mendapat belaian Buk Ris.
“Pllaaaak”
“Pllaaaak”
“Pllaaaak”
“Pllaaaak”
Empat porsi tamparan dan masing-masing dapat satu porsi.






SEPEDA BUTUT

BAB 21

Agus, dan Igus adalah sohibku, kami tiga serangkai, laksana tungku, Agus dan Igus berbadang besar dan kukuh, dan aku yang paling tidak mewakili tipe orang Indonesia kebanyakan, agak kecil, perbandingan seperti jawi pesisir dan simental.

Jarak kampungku dengan sekolah tidak terlalu jauh dan sulit, kami hanya butuh 30 menit saja, kecuali kalau kondisi gawat dan darurat, kami tidak boleh telat barang sedetikpun, kalau terlambat tidak ada ampun, Pak Mahaindra, akan menghajar kami dengan hukuman. Untuk itu perlu sedikit ketergesan.

Pak Mahaindra sosok yang menjadi momok, beliau amat kukuh, apabila sudah memasuki wilayah kedisiplinan tidak ada tawar menaawar, hukum berlaku pada semua, semua warga civitas SMA Lengayang sama di depan hukum, tidak ada main uang, main mata atau tawar menawar, terutama Upit yang jago dalam soal rayu merayu , Pak Mahaindara tidak mempan dirayu, senyum manis upit berlalu tampa makna, apalagi kami yang tidak terbiasa tersenyum, apalagi tergelak akan sia-sia.

Sistem kedispilinan yang sangat kaku, standar, dan kami slalu waspada, untuk mata ajaran Pak Mahaindra, jadwal keberangkatan dimajukan, 15 menit lebih cepat, inilah yang menjadi siksaan terbesar bagi kami, kalau-kalau sepeda miniku atau tunggangan sepeda jantan Agus atau Igus bermasalah secara teknis, mogok, bukan karena kehabisan BBM tetapi ranjau dan batu kerikil yang membuat kami harus ekstra hati-hati.

Pak Mahaindra tidak sendiri, ada Buk Risdawati, yang dingin dan beku, tatapannya laksana elang, dua rahangnya kukuh gemeratak, Kimia bukanlah bidangku, itu menjadi bagian kegemaran Agus, sama halnya dengan Matematika, Fisika, sementara bagiku tetap seperti dulu, matematika dan segala turunanyan, sampai ke cicit-cicitnya, pokoknya yang berhubungan dengan rumus, hitung menghitung, kali, menambah, kecuali membagi, menjadi musuh otak kiriku. Jika ada sosok yang membuat hatiku gentar dan gemetar Buk Risdawati adalah salah satunya.

Avon menjadi bukti outentik ‘keganasan’ guru Kimia itu, salah dan shilaf, saat itu sedang berlangsung ulangan Kimia, salah satu yang paling tabu, tidak ada yang boleh celingak celinguk, mencontek, apalagi membuka buku atau jimat, pembaca, jimat adalah catatan kecil dan panjang, dilipat-lipat dan salah satu trik kecurangan konvensial dan paling banyak dipraktekkan.
“Avon, apa itu” bentak Buk Ris keras, suasa hening pecah, coretan-coretan yang ku buatpun ikut bergetar nyaliku ciut, aku persis di samping Avon, kecuranagan Avon berakibat Fatal.

“ Keluaaaaar” hardik Buk Ris seperti komandan upacara hari Kebangkitan Nasinal, suara Buk Ris Bertenaga dan tentu saja berenergi, sejurus kemudian kertas yang ada di tangan Avon disambar Buk Ris, bunyi gemerisik kertas yang tercerai berai, jawaban kimia Avon jatuh berkeping keping.

Avon berontak, berdiri spontan hendak pergi, tetapi kursi tempatnya duduk terlanjur jatuh, berisik, hentakan diluar kesadaran dan membuat Buk Ris mendidih, sebuah tamparan mendarat tepat di wajah Avon, tak terelakkan.

“Pplaaaak”

Tamparan di pipi Avon bukanlah kasus pertama, dari cerita yang beredar, telah banyak kasus kenakalan siswa yang beliau selesaikan dengan ‘elusan’ dan tidak ada yang bernyali, bahkan Eka sang ‘jawara’ sekolah kami, keder, apalagi Aku, Agus dan Igus, kami tipe orang udik, dan penakut?, orang yang tak pernah belajar karate, kungfu, atau taekwondo, tidak pernah, kalaupun ada sedikit kepandaian Silat dan itupun sudah kuno, ketinggalan zaman.

Wan Husin lebih sering kehabisan nafas, jurus silat yang diajarkannya kepada orang orang yang tidak berbakat. Jurus Silat Induk Ayam, begitu nama aliran silat itu, banyak diantara kami yang tidak yakin, namanya terlalu kampungan, Induk Ayam , bukankah ada nama yang lebih sangar dan seram, silat induk macan misalnya , silat macan ompong, atau silat kuda arab yang kedengarannya lebih perkasa dan jantan, tentu akan memberi efek lain, dibanding sekedar silat induk Ayam, leceh dan penuh cemooh.

Tentu saja Eka bukan lawan tanding kami, dan kami memang tidak masuk dalam daftar ‘jawara’ di SMA Lengayang, kami tidak akan mempu melawan jurus-jurus Eka yang terkenal, dia pemegang sabuk hitam Karate, sama seperti Buk Ris.

Ini fakta, bukan cerita saja, suatu siang yang garang, panas membakar ubun ubun, kami baru saja sampai digerbang sekolah, tiba-tiba sebuah tendangan tiba-tiba tak terduga mendarat dipunggung Agus. Igus dan Aku tersirap, jantung berdegup kencang sekali, spontanitas yang tidak lucu, Agus terhuyung huyung, seperti actor lagi Mandarin yang terkena tendangan Jet lee.
Mengapa Agus diserang?, mengapa kami tidak?, demi solidaritas ini tidak bisa dibiarkan, Agus harus dibela, dua tiga pukulan tanpa balas, dan darah kami mendidih,

“Kurang Ajar” desisku membathin, demi harga diri, demi nama tungku tigo sajarangan, demi tali tiga sepilin dan demi sepeda mini dan onthel, demi dedemit, demi..demikian.

Sebuah tendanganku hanya menembus angina, kosong dan hampa, Eka menyeringai, dan sejurus kemudian sesuatu mendarat persis di keningku, keras dan cepat, sungguh prakiraan yang sudah ku prakirakan, percuma Eka bukan sparing partner yang pas untuk anak silek, silek beraliran Induk Ayam. Aku terjengkang.

Igus mulai tak sabar, bodinya yang berisi, tinggi dan berkulit legam, tampangnya memang tidak lembut, lebih angker dari Eka sebenarnya, tetapi tidak pernah membuat gaduh, terpaksa turun gunung, ini tidak bisa dibiarkan, dan harus segera diselesaikan dengan cepat dan sigap, kekerasan harus dilawan dengan kekerasan, keras harus disandingkan dengan yang keras pula, filosofi air dilawan dengan air tidak berlaku, saat ini fostulat yang tepat, demi harga diri, Eka kami keroyok, menonton makin ramai, tiga lawan satu, pertandingan yang tidak seimbang.

Tetap saja Eka terlalu tangguh, badan yang besar tidak menjadi jaminan untuk menang, Tubuh Agus dan Igus, tidak banyak membantu, mereka sering sempoyongan, sementara aku memang jaga jarak, mataku masih nanar, dan penonton bertepuk riuh, siang yang makin hangat, dan kami menjadi tontonan seperti Ponger penjual obat kurap di Pasar Sabtu.

“ berhenti” suara bentakan, Buk Risdawati tiba tiba muncul, satu persaatu kami mendapat belaian Buk Ris.
“Pllaaaak”
“Pllaaaak”
“Pllaaaak”
“Pllaaaak”
Empat porsi tamparan dan masing-masing dapat satu porsi.






LADANG JAGUNG LADANG PEMBANTAIAN...

BAB 23

Siapa yang menanam, dia akan memetik, terasa lembut dan filosofis, tetapi tidak selalu benar, acap juga terjadi deviasi atau penyimpangan, maka ladang jagung menjadi pembenarannya.

Dari ladang jagung inilah, aku menapaki sayap asaku yang patah, patah dan tentu saja anganku melayang melingkar dari sudut kesudut, menyudutkan hatiku pada kenyataan, pahit dan luka, tidak dapat terbang.

Sembilu menyayat hati dan luka itu terasa perih dan ngilu, untuk semua harapan yang kandas, tentang sekolah yang gagal, dan juga semburat masa depan yang berwarna, dan warna itu sebanarnya hanya sekelabat bayangan hitam yang agak kelabu.

Dari radio cassetteku yang setia, mengalun nada Minang, suara rarau sesorang yang kukenal bernama Zalmon.

Bialah lah diak hujan tangah hari
Naknyo tumbuah sirumpuik banto
bialah diak denai surang diri,
kok jo ambo mungkin sansaro.

Iyo, iyo mungkin sansaro
Iyo, kok jo ambo mungkin sansaro

Santano bapisah
indak denai bakaciak hati
Sajak dulu denai lah tahu
Mimpi mimpi lah tingga mimpi

Kayu aro balapau nasi
Dingin- dingin disukarami
Lah biasa galak dinan lai
Urang nan tido manahan hati

Hujan tengah hari, hujan yang membasahi hatiku, aku menjadi orang yang kalah sebelum berperang, tidak adalagi kebanggaan, seperti ramalan Buk Nurni, bahwa aku salah satu orang yang memiliki bakat, bakat yang datang bukan dari otak bahagian kiri, tapi otak bahagian kanan. Aku tidak dapat menunaikan janji janjiku, saat ini aku hanyalah seorang petani jagung. Dilahan milik tanah ulayat kaum Ayahku.

Hidup laksana benda langit, beredar pada orbitnya, dan akan kembali berulang dalam setuasi yang berbeda?, rotasi hidup saat ini bukankah orbitku yang salah, berevolusi pada garis yang salah, dan tuhan tidak pernah salah, bukan?.

Buktikanlah kalau anda tidak percaya, bahwa hujan tengah hari, lebih banyak mudharatnya, ketimbang manfaat, itu menurut Yek Usi, lalu seberapa dahsyat efeknya pada jagung yang baru kutugal. Tentu, sesuatu yang perlu dilirik dalam teori ilmiah, dan tidak cukup hanya sekedar hipotesa, demikian juga korelasi antara hujan siang hari dengan penyakit demam, dan kaitan erat antara tugal jagung dengan posisi ketika menugal.

Menugal jangan sambil tertawa, buah jagung menjadi rusak dan tidak berbobot, tungkalnya akan aneh, apalagi jika Uwak yang ompong ikut ikutan menugal, barabe, panen jagung representasi gigi Uwak?.

Mimpi tinggalah mimpi, mimpi yang tinggi, sampai kelangit, mimpi melintasi garis hidup yang tak tentu, berjalan, berlari dan berhenti bukan ditujuan, atau aku seperti seorang pelaut yang terombang-ambing, hingga kelam menyungkup malam.

Harus seperti inikah akhir kisah hidupku?, seperti kebanyakan kawan kawanku, lena dalam kubangan lumpur dari pagi hingga petang, ketika pagi datang dan kembali menjemput petang, saban hari, saban waktu, kerna nasib juga, tidak!.

Hanya Aguslah yang bernasib lebih mujur, dia menjadi kebanggaan kampungku, dia disebut sebut sebagai intan yang selama ini tersembunyi dalam lumpur sawah Tebing Tinggi, yang akan membangkit batang tarandam, yang akan menjemput masa depan dengan sebuah harapan, dia laksana matahari.

Fakultas Teknik Nuklir, Universitas Gajah Mada, begitu selembar surat yang digengam Agus tertulis dengan huruf balok mungkin berjenis Bookman Old Style, karakter yang gagah dan berwibawa, ia memang pintar, dia belajar biasa saja, tetapi ingatannya luar biasa, sama seperti aku belajar biasa dan hasilnya juga biasa, sebuah hubungan linear yang tidak simetris.

Tapi Agus menjadi representasi Tiga serangkai, kalau aku dan Igus tercecer, kembanggaan Agus, juga menjadi pancaran kebanggaan kami, bukankah Agus menjadi bagian dari tungku tigo sajarangan.

Kita lupakan Agus, kita kembali ke Ladang Jagung, Ladang Pembantaian (killing Field), persis sama dengan Magadog, Tan Malaka, tentang ladang pembantaian, dan ladang itu menjadi lokasi revolusi hidup yang membuat aku bergejolak, hatiku dibakar gelora api, api yang terus membakar, hingga aku ciut dan menyusut, ladang jagung benar benar sebuah mimpi buruk yang selama aku gamangkan, mimpi seorang anak, beradik banyak, orang tua yang berjuang diladang masing masing, dengan perjuangan sendiri.

Idealisme ladang jagung, jangan pernah menanam jagung sembil tertawa, hasilnya jagungpun akan tertawa, dan siapa yang menaman dia akan memetik, aku akan mulai menanam seperti Agus yang memetik.

Jika anda berkesempatan untuk merenung, terutama tentang masa lalu, maka Sesuatu yang sesunggunya kurang berkenan, menjadi terkenang.

Anda akan merasakan sensasi ketika otak kanan anda bekerja leluasa.
Bekerja dengan naluri, menyibak, menyingkap dan menelisik apa pun yang terbenam dalam memori, seperti mencari intan berlian diantara lumpur.
Pencarian yang penuh sensasi, sensitif dan inspiratif.
Pencarian yang butuh kesabaran dan kejernihan, dan semua terserah anda akan giring kemana, dimana, untuk apa, dan bagaimana.
Sama halnya, untuk pencarian sesuatu yang berharga butuh keseriusan, dan hanya butuh sedikit keberanian, selebihnya adalah bahwa anda berkomitmen bahwa menempatkan fiksi dialam cerita dan penuh romantisme, daya imajinasi dan akseleratif .
Kaloborasi sedikit apapun akan menghasilkan sesuatu yang akhirnya mengiring kita pada penemuan mutiara yang sebenarnya mudah ditemukan tapi susah untuk didapatkan.
Mudah ditemukan dan susah didapatkan, sayapun seperti anda, belum menemukan apa-apa, kecuali sedikit saja dari sedikit garis edar yang setia dan pasti itu.

Siapa yang menanam dia pulalah yang memetik, tetapi kebiasaan masyarakat kampungku, melepas ternak, ternak tidak dikelola dengan tatakelola ternak yang baik paralel dengan good government atau clean governent, dilepaskan begitu saja. Menjadi awal bagiku bahwa postulat diatas perlu dipertanyakan, dalam logika, bahwa mengapa pula ternak ternak itu yang menjadi predator dan mengintai kenyamananku bertani, karena gerombolan ternak itu lapar.

Gerombolan ternak liar dan kreatif, dalam hitungan menit ladang sudah dipenuhi tumpah ruah gerombolan sapi pesisir, dan sudah bisa diduga, pucul muda, pelepah renyah dan buah jagung, seperti seumpama tanam padi yang baru saja diobrak obrik kawanan tikus sawah dan jumlah besar, mungkin ribuan. Terkulai tak berdaya.

Ladang jagungku dibantai oleh sapi pesisir terkutuk, sapi-sapi yang lahir dari proses genetik yang keliru, penyimpangan plasma nutfah sempurna, evolusi sapi menjadi kambing atau kambing menjadi sapi, badannya yang kecil sepadan dengan kambing benggala, atau representasi kambing hasil kloning pakar kehewanan Swedia, tanamku tandas.

Kini, sapi menjadi hewan yang menjadi lawan, binatang yang tak tahu diri, bukankah aku pernah mengasuh saudaramu hampir dua tahun lamanya, hingga kalaupun beranak, secara ekonomi tidak menguntungkan, tidak ada profit yang kuperoleh, kecuali masa kecil yang indah, dan memukau, itu saja.

Mohon maaf untuk kedepan aku tidak akan lagi menaruh hati pada yang namanya hewan ternak, aku tidak berminat untuk jadi pengembala, tidak juga jadi tukang sabit rumput, termasuk menjadi tukang pembuat kandang, tidak untuk kompos dari cirit jawi yang berleak-leak itu, bosan.

Kalau aku kuliah nanti, aku tidak akan mendekati jurusan kehewan, semisal fakultas peternakan, aku akan menjadi Dokter, tapi tidak dokter hewan, mendaftar di Fakultas Kedokteran atau paling tidak di Fakultas hukum.

Menjadi Dokter bukanlah cita cita ku sebenarnya, aku tahu menjadi dokter butuh kemampuan mengali, mengurang, menambah, merumus dan pokoknya perhitungan harus tepat dan akurat, maklum menyangkut nyawa. Aku terobsesi saja, karena teman temanku, termasuk Citra Kasmili, jika ditanya orang tentang cita cita, pasti Doktel, ya Doktel.

Atau, paling tidak masuk Fakultas Hukum, kendati aku tak tahu banyak tentang bidang yang satu ini, maklum dikecamatan kami hanya ada kantor polisi, dari aku tahu sampai sekarang, kantor itu masih seperti itu itu saja, belum seperti kantor-kantor lainnya, kantor camat yang bagus dan atapnya bergerigi, seperti sirip ikan, kantor KPN Kambang, tempat yang selalu rutin kujambangi, terutama dipertengahan bulan, mengambil jatah beras bulog ibuku .

Wajar saja jika watak orang dan penghuni yang berseragam dikantor itu, masih seperti itu-itu juga, tidak ada perubahan yang signifikan, kecuali secara struktural, tetapi secara kultural, belum banyak berubah. Tampaknya tulisan indah ” Kami Siap Melayani Anda” Masih sebatas slogan pemanis saja.

Jangan tersinggung, kalau berurusan dengan dengan orang-orang yang ada didalam sana, jantung anda akan berdegup keras, diplototi, dibentak, dihardik. Salah satu contoh kelemahan birokrasi pelayanan publik?. ” Sebenarnya kami belum siap melayani Anda, kami minta dilayani.
Setali tiga uang dengan kantor-kantor pemerintah yang lain, sejatinya sebagai tempat rakyat berkeluh kesah, tentang berbagai masalah dan problem hidup, tetapi sampai saat sekarang, birokrasi kita masih menjadi salah satu birokrasi terburuk di dunia, pungli yang besar atau akibat gaji yang rendah?

Gaji rendah, alasan klasik mengapa kemudian masyarakat menuding bahwa birokrasi kita menjadi tidak efesien dan efektif, penuh liku dan bertele-tele, tentu saja ditambah budaya atau etis kerja yang rendah, kinerja berkaitan erat dengan capaian dan sasaran terutama pelayan itu tadi, dan tentu tidak semuanya begitu.

Contohnya Ibuku, tidak ada penghasilan lain kecuali penerimaan yang tertera pada Amprah Gaji, setelah dipotong oleh berbagai potongan, potongan uang sosial, uang KORPRI, simpanan pokok dan wajib koperasi, belum lagi potongan hutang yang hampir 60% yang hampir menyedot dan sangat mempengaruhi likuiditas keluarga kami, bantuan insidentil yang hampir tiap menerima gaji, semisal uang MTQ, uang pramuka, uang duka, uang ini dan itu, nyaris sehalaman penuh, tapi Insya Allah, gaji itu cukup dan dicukup-cukupkan, kalau tidak tentu ibuku takkan sanggup menembus gelapnya hutan basah Pinti kayu, Kajai sabatang, bukik sibunian, Andaleh, hingga Sariak Alahan Tigo,

Ibu sesosok Capella di angkasa untuk kaum guru, Bintang paling benderang yang menghiasi rasi Auriga, rasi belahan utara yang bermakna Pengendara Kereta perang, dan jujur pada garis edarnya, seperti, Ayahku, apalah artinya 45 tahun cahaya.

Gaji bukanlah satu-satunya daya tarik dalam pengabdian?.



HIKAYAT SEBUAH MEJA

BAB 2

Ayah menjadi orang pertama yang kembali ketanah takapuang ini, setelah PRRI berhasil dibelenggu oleh kekuasaan tentara Jawa, dan orang-orang yang bermukim disini kembali hidup normal dikampung, nyaris tempat ini menjadi kawasan mati, tanpa penghuni seperti perkampungan orang-orang perahu di Pulau Batam, puing-puing dan sisa sejarah yang mereka buat masih terbaca jelas.

Ayah, ibu, kakak dan adikku yang masih merangkak adalah orang orang yang kembali, orang orang yang sesungguhnya belum pernah kesini, kecuali Ayah, selebihnya Ibu, kakakku dan adikku masih berumur dua tahun.

Pelajaran pertama yang dilakunya adalah meniti jembatan penyebrangan dari batang kelapa yang dipotong, kedua ujungnya bertemu dipinggir kedua bibir tepi, dan ayah sengaja memasangnya sejajar, menjadi ganda dan amat membantu terutama bagi adikku yang masih merangkat itu.

Karena ayah menjadi orang pertama yang kembali, maka berbagai sarana pendukung mesti diperbaharuai, sebuah sumur tua, airnya masih seperti kondisi air di kontur tanah rawa, jika anda anda sisuguhkan dan disuruh memilih antara air the sariwangi dan air tanah rawa pasti anda akan bingung, warnanya persis sama dan hanya lidah saja yang bisa membedakannya.

Tampaknya usaha keras ayah tidak sia sia, kendati tidak berlatar belakang tukang kayu, apalagi penguasaan ilmu tekniknya yang lemah, tentu saja perbaikan pondok yang dilakukan ayah patut diberi apresiasi, rumah atau yang lebih tepatnya disebut pondok perladangan, yang semula sudah seperti orang mau sujud, dan sempoyongan kembali kukuh, sandi-sandi yang masih tampak utuh dengan sedikit sentuhan diperkuat dengan penambahan kayu sehingga tonggak tongkak penopang dinding sudah dirasa cukup sebagai tempat tinggal.

Aku menjadi orang rimba, oleh karenanya aku harus membiasakan diri mengauli rimba dengan segala tradisi yang berlaku, ada aturan-aturan yang harus dilaksanakan, disamping adupula pantangan-pantangan yang harus dielakkan.

Sekali lagi rimba adalah sahabatku jika malam menyungkup maka apa saja bisa jadi lawan, dingin, hujan, binatang buas, ular, sipasan, kumbang, dan berbagi jenis reptilia bisa-bisa menjadi ancaman dan itu adalah ketakutan naluriah sehingga mengharuskan manusia untuk melindungi diri.

untuk berbagai alasan keamanan maka rumah panggung yang telah direnovasi ini menjadi tempatku merenda hari-hari, inilah duniaku, ayah telah memberikan salah satu pengajaran penting, bahwa untuk memahami hidup memang harus dimulai dari dunia yang kita sendiri tidak pernah membayangkan.

Ayah menyelesaikan pekerjaannya yang dianggapnya sebagai proyek prestisius, dan ayah dengan senyum puas memandang, sembari mematut-matut sebuah meja yang berhasil diselsaikannya dengan gagah, dan aku tahu meja hasil pekerjaan tangan ayah ini merupakan model lama tetapi dengan tingkat ketelitian yang jauh dari ilmu atau teknik membuat meja.

Lihat saja hasil khatam kayu, semuanya halus, tak peduli apakah papan itu menghadap keatas atau kebawah, ajaib sekali meja itu seperti layaknya meja kebanyakan tetapi mengapa kempat kaki meja itu tidak berdiri vertical, agak miring tetapi tidak sampai membentuk posisi diagonal sempurna, kemiringannya sekitar 30 derajat.

Ibupun takjub, karena ini adalah meja pertama hasil lakek tangan ayah, ibupun terpana, ada senyum puas dirona ayah ketika ibu memberikan sedikit pujian.

Tetapi ketika aku berusaha mengetes hasil karya ayah, ibupun sempat kawatir tetapi aku tetap melanjutkan uji coba, secepat pesulap beraksi aku sudah ada diatas meja ayah, dan aku adalah orang pertama yang berhasil duduk dan seperti penyanyi yang sedang beraksi diatas panggung aku berjingkrak jingkrak, dan apa yang terjadi saudara.

“Brukk”, meja ayah ambruk, sempoyongan dan jatuh ketanah, bersama tubuh kecilku. Dan ayah telah mengabarkankan kepadaku sebuah prinsip tentang perilaku, bahwa jangan pernah melakukan pujian terhadap karya yang belum dilakukan pengujian secara ilmiah, karena sebuah hipotesa adalah tesis yang belum sempat diuji, dan hipotesa adalah dugaan, dugaan antara sesuatu yang benar dan sesuatu yang salah.

‘Terimakasih nak, kau membuat ayah paham, arti sebuah keahlian’.

RIMBO TAKAPUANG TANAH HARAPAN

BAB I

Pagi sekali, dengan selimut temaram, embun masih setia dalam tidur, langit Rimbo takapuang dipenuhi ribuan kalong berkeliaran, ramai sekali, hilir mudik seperti Pekan Sabtu saja, Hari saat terjadinya berbagai pertukaran barang dan jasa, antara penjual dan pembeli, saat serah terima antara produsen dan konsumen.

Kalong bergerak tak beraturan laksana pialang yang tengah bertransaksi di bursa, sibuk-sibuknya, sebuah aktivitas rutin kalong menjelang terang menjemput.

Kalong menjadi salah satu cerita alam untuk sebuah pelajaran bagi manusia, Tuhan menceritakan bahwa siang bukan lagi milik burung menakutkan ini, karena saatnya berkemas, memberikan tugas kepada makluk siang.

Tugas kepada kita manusia.

Ketika itu umurku belum mencapai lima tahun tetapi aku sudah mulai tahu samar-samar bahwa Ayek Aki mengendongku dipundaknya, berayun ayun, melintasi semak belukar. Kami seperti orang Vietnam yang terusir, meninggalkan negeri sebagai orang yang kalah.

Langkah pertama yang mulai kumengerti.

Kawasan hutan ini bukanlah hutan perawan dan sudah pernah dijamah, tampak dari bukti-bukti yang masih ada, tentu saja karena sebelumnya ada pemukiman disini dan dari bukti-bukti yang ditinggalkan itu, nyata bahwa areal ini pernah dijadikan tempat bercocok tanam dan bermukim, lalu ditinggal pergi penduduknya. Entah kenapa.

Menurut keterangan Yek Aki, lahan ini pernah digarap oleh semendanya, bernama Zainal, yang memperistri adik perempuannya yang paling bungsu, entah kenapa kemudian Ayek Aki mewariskan pekerjaan penggarapan ini harus jatuh ketangan Ayahku.

Untuk menggarap lahan ini dibutuhkan orang orang yang gigih dan tidak sembarangan.
Semangat pantang menyerah inilah yang masih dimiliki ayahku, butuh perjuangan dan usaha gigih. Kalau ingin benar-benar menaklukkan tanah rawa.

Kalaupun ada yang berladang dikawasan itu tentu bukanlah orang sembarangan, artinya butuh orang-orang berjiwa petualang, pantang menyerah dan tahan banting.

Ya, seperti ayahku, mau menggarap lahan yang marimba, kayu-kayu berdiri kukuh, teduh dan temaram. Kecuali ada sedikit lahan yang pohon pohonnya agak kecil dan disesaki tumpuhan perdu, pakis hutan yang berpulun pulun dan sangat liat, perkakas pun akan dibanting dan letih.
Rimbo Takapuang, begitu orang menamakannya tergambar suasana asri hutan rimba yang belum tergarap dan sekliling pandangan kita disungkup gelap dan suara burung burung dan jelata rimba saja yang membuat ada simponi ditengah rimba itu.

Ditengah rombongan disamping aku dan Yek Aki, tentu ada Yek Usi, ayah dan ibuku serta kakak dan adikku, tiga generasi yang sedang menantang alam, untuk mencari hidup, berpindah dari desa ke hutan, back to forest, dari budidaya dipersawahan beralih keladang dan perkebunan. Disawah dengan padi dan palawija beralih ketanaman keras seperti kelapa, jengkol, pinang, mangga, rambutan, petai disamping tanaman muda, jagung, ketela pohon pisang. sebuah keputusan mundur dari kacamata sosiologi dan antropologi?

Hijrah kehutan bukan pula sebuah keputusan yang salah, atas saran Yek Aki, Ayah dan Ibuku harus berekspansi mencari daerah baru untuk dijadikan lahan garapan.

Sementara lahan persawahan yang dikuasai Yek Usi, memang tidak memungkin lagi bagi ayah dan ibu untuk tetap bertahan, Yek Aki tidak punya pilihan lain, lahan dan rumah sudah over capacity.

Tampaknya keputusan ayah mengungsi dan ‘terusir’ ke rimbo takapuang menimbulkan kontroversi bagi keluarga ayah, bahkan mereka menduga ayah sengaja diusir kerimba.

Dari sekian minantu Ayek Aki, hanya ayahlah yang berlatang belakang orang rimba, peladang, pekebun dan berjiwa non bisnis alias manggaleh. Oleh karenanya sangat cocok untuk melakukan budidaya dihutan seperti ini. sirih lah pulang ketampuknya.

lain, Bagi ayah bahwa ia menganggap keputusan ini sebuah keputusan bijaksana, keputusan yang brilian dan tepat. Karena memang sejak tangis pertama ayah pecah hutan dan rimba adalah sahabat , kecamuk yang berkeliaran dibenak sanak famili bukanlah urusan harga diri atau moral tetapi langkah mengungsi ini semata mata adalah langkah radikal untuk sebuah pertarungan melawan hidup itu sendiri.

Kendati lahannya luas tetapi memang orang-arang yang berhati batu saja yang akan mau menggarap lahan seperti itu, kadar keasaman tanah yang masih sangat tinggi dan kurang cocok dijadikan lahan perladangan, kalaupun etumbuhan bertumbuh tetap saja meranggas, hidup segan mati tak mau, benr benar lahan lahan tidur dan tidak produktif, gersang, berayun-ayun dan jika matahari menggigit rumput menjaadi hangus terbakar, hitam, legam.

Ayek Aki melemparkan pandangan jauh, dan disekitar inilah pada jaman tentara jawa penyerang kaum pemberontak PRRI yang menggagu keutuhan negara berladang disini, sehingga pohon pohon yang tumbuh bukan lagi pohon utama yang rimbun dan luasnya 120 x 220 depa siaman, dan dari tepi Bandar yang hamper diselimuti rumput liar, masih dilalui air yang mengalir, dan agak ketengah lahan masih ada sisa-sisa rumah panggung yang sempoyongan di tinggal waktu.

Sebagai seoarang tamatan pendidikan di PGA 6 tahun, kata lelah dan berputus asa adalah pantangan, toh, tanah ini dulu pernah digarap para pejuang kemerdekaan bagi Sumtera tengah, tentu pohon yang menjulang kelangit telah mengaburkan pandangan tentara jawa, toh kalupun mereka masuk kesana, mereka tidak akan bertahan, bisa-bisa sepatu dan bedil mereka terkubur dalam ayunan lahan gambut itu, mereka terkepung.

Tampak sekali sisa sisa peninggalan para pengunsi seakan menjadi saksi bahwa lahan ini pernah ditempati dan menjadi markas para pejuang, Ultimatum jawa agar mereka kembali dan tidak maker hanyalah usaha sia sia, karena rakyar Sumetara tidak ingin terus menerus dibodohi dan menjadi bulan-bulanan pemerintah puasat.

Yang mengarap lahan ini sebenarnya adalah adik perempuan Ayek Aki dan suaminya Yuang Ambi meraka menggarap lahan kemudaan setelah pemberontakan dapat dipadamkan, mereka kembali ke tengah kampong dan meninggalkan rimba takapuang dan tidak pernah kembali lagi.
Tentu saja Yek Aki berhak untuk kembali menggarap lahan dan mandate itu diberikan kepada Ayah dan Ibuku, lahan dikampung sewah pertaunan, tidak cukup lagi dan terlalu sempit, etek-etekku yang sudah bekelurga dan punya tanggungan diberikan hak bergilir untuk bercocok tanam disawah yang sejanjang. Tentu persoalan makan tidak untuk digilir, bisa bisa marasmus, perut buncit, mata jadi cekung, dan kalau dilihat lihat seperti anak tuyul saja.

Kami seperti serombongan kafilah dengan segerombolan onta-onta yang bertekuk lutut menghabiskan rasa lelah, mengabarkan kepada hutan dan segala penghuninya bahwa kami bermaksud baik membuka kembali sebagaian rimba yang dulu pernah didiami moyang dan tettua yang menancapkan keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat kami menggantungkan nasib. Dan kami adalah kafilah yang karena lapar harus hijrah.

Sebenarnya rimbo takapuang tidaklah terlalu jauh dari kampungku, karena berjalan diantara semak dan belukar, perjalanan sedikit menyita waktu, apalagi kawasan ini menjadi daerah resapan air sehingga menjadi lebih lunak dan bergambut. Dan karena kontur tanahnya yang labil maka masyarakat enggan untuk berladang.

disamping masih banyaknya hama babi yang menjadi predator bagi tanaman apa saja, biasanya jika hama babi melakukan serangan maka lahan yang semula menjanjikan menjadi porak poranda seperti porandak porandanya semangat petani.

BUK SITI HAJIR, BELALANG, DAN P4

BAB 15

Ruang sekolah terasa lebih ramai, semua murid sibuk mempertontonkan ’hasil’ karya masing-masing, seorang guru berparas keras sembari membolak balik buku teks matematika, dan suaranya yang keras dan berat memecah sunyi.

Buk Hajir, beliau adalah guru matematika kelasku, spesialis beliau memang pelajaran Aljabar itu, namun beliau juga mengajarkan pelajaran lain, maklum keterbatasan tenaga pengajar di sekolahku, memaksa satu guru memegang beberapa bidang studi, sehingga tidak jarang, dari pagi hingga jam pulang datang, ya yang berdiri didepan tetap Buk Hajir, kendati begitu Buk Hajir disamping itu beliau sangat teliti dan sangat disiplin.

Pelajaran matematika adalah salah satu pelajaran yang membuat minat belajarku tidak berkembang, bahkan boleh dikata Matematika menjadi salah satu momok yang terkadang menjadi hantu, apalagi Buk Hajir menerapkan aturan tang sedikit ketat dan berat.

Bagiku ini adalah kali pertama aku duduk dibangku SD No 5 Tebing Tinggi, SD satu satunya dikampungku, ruang kelas empat, karena kelas berjejer memanjang jalan maka dengan mudah menghitungnya jika dimaulai dari ujung, tetapi karena bangunan sekolah berbentuk leter U maka, kelas satu dimulai dari belakang, dan antara ruang kelas kelas empat ada ruang majlis guru, ruang kelas memang tidak berurutan meloncat loncat seperti deret ukur.

Ruang kelas satu dan kelas empat memang sengaja dekat dengan ruang majlis guru maksudnya agar mudah dikontrol, kelas satu dan kelas empat hampir bertabiat sama, sama sama gaduh, dan makanya Wan Darwis sang Kepala Sekolah terpaksa menerapkan strategi seperti ini, kalau tidak sekolah bisa pecah.

Aku menjadi murid baru, dan Buk Hajir mengetes kemampuan matematikaku, aku gelagapan ketika ditanya soalan PR dan jelas aku tidak mampu, dan akhirnya Buk Hajir menyadari bahwa aku baru kali pertama mengikuti materi pelajaran beliau, tentu saja jika ada pelajaran kelas yang sama maka matematika kelas lamu masih jauh, disini sudah agak maju, Bentakan halus dari Buk Hajir menyadarkanku bahwa mulai hari ini aku harus berusaha menguasai materi yang beliau ajarkan sebelumnnya.

Matematika menjemukan habis, tetapi pelajaran biologi menyusul dan juga menjemukanku, tapi kadarnya lebih sedikit dibanding matemtika, sepertinya aku tidak siap dengan hal-hal yang berhubungan dengan eksakta, terasa kaku, dan tentu saja menjemukan.

Bagiku, kali ini Buk Hajir menciracau masalah hewan sawah, dan masing masing kami disuruh meyebutkan hewan hewan sawah sebanyak mungkin, pokoknya hewan apa saja yang ada dalam sawah dan bermukim disawah boleh jadi referensi, siapa yang dapat menyebutkan paling banyak akan mendapat ponten bagus dan akan menjadi pertimbangan nilai rapor semesteran.

Temanku Agus, mengacung tangan menunjuk langit langit, dia mulai menyebutkan satu persatu hewan yang berdomisili disawah,
” satu katak, dua belut, tiga kerbau, empat sapi, lima ikan puyu, enam lintah, tujuh bangau, delapan tungau, sembilan hewan yang menyebabkan panau” untuk sementara kelas pecah, Agus sangat benci pada hewan yang menyebab panau, berasalan sekali karena tempelan putih, seperti peta menghiasi sebagai tubuh Agus termasuk juga wajah, sehingga kelas menjadi gaduh dan liar. Buk agaknya sudah mulai lupa cara tertawa, beliau seperti biasa tetap dingin dan beku.

Dan semua dapat giliran semua binantang yang berdiam disawah boleh disebutkan termasuk yang sudah diseut teman terdahulu, ada yang menyebutkan 6, 7 sampai terbanyak 18 hewan, saking kelewat banyak, kerbau dan anak kerbau jadi dua, sapi dan anak sapi juga berbeda nomor urut, bahkan kedua orang tuanya masuk juga kedalam daftar hewan yang bermukim disawah, edan, durhaka.

Dan tugas selanjutnya menemukan hewan-hewan yang sudah disebutkan tadi dan minggu depan dikumpulkan, hah???. Banyak yang protes tetapi buk Hajir telah menyelinap lewat pintu belakang kelas, dan pintu itu menjadi salah satu akses keluar masuk majlis guru termasuk Wan Darwis.

Sepertinya doktrin P4 tidak mempan untuk menyelesaikan kelakuan kawan-kawan itu, mengapa mereka jadi dungu seperti itu, atau karena mereka sudah bosan melihat rutinitas orang tua yang saban waktu membakar punggung, toh sawah tidak terlalu menjanjikan apa-apa, apalagi belakangan hama tikus dan wereng merajalela, sehingga orang tua Alin harus masuk kedalam daftar nomor urut buncit binatang yang bermukim disawah!.

Tentu tugas mencari belalang dan kawan-kawan merupakan tugas yang tidak terlalu berat, tetapi yang berat terasa apabila binatang binatang ini menjadi salah satu rantai makanan dalam ekosistem sawah dan tentu saja ini akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan, kalau saja 40 orang murid kelas 4 masing masing menagkap 10 jenis saja binatang sawah maka 400 ekor habitas musnah.

Tibalah saat yang mendebarkan tiap murid harus memperlihatkan binatang-bintanag sawah, bagi yang tidak tentu hukumannya adalah berdiri didepan kelas, satu kaki dilipat, tegak bebek. Jika itu yang terjadi tegak itik adalah momen yang paling memalukan, ditonton, ditertawakan tentu saja dimarahi.

” ini contoh yang tidak perlu kalian teladani, apalagi ditiru, digugu, tabiat yang tidak mencirikan anak sekolah yang mau belajar, tidak ingin terdidik, yang tidak mau jadi orang, ..”
Agus dapat giliran mempertontonkan hawan sawahnya, dia membawa sekarung hewan sawah dari berbagai jenis, ada katak, biawak, lintah, lele, mujair, belalang, wereng yang sering memusnahkan harapan bapak ibunya, siput sawah, keong, berbagai jenis capung, suku kupu kupu yang berupa rupa hingga ulat dan kepompong, tidak ketinggalan burung lengkap dengan sarang burung dengan anakburung yang mencicit, luar biasa Agus paling jempolan.
” Ada lagi Agus” pinta Bu Hajir dengan nada puas, karena Agus memeberikan dedikasi yang luar biasa sehingga wajar jika paras Bu Hajir sumringah.
” Masih Bu”
” Mana”

Agus Menoleh Kebelakang Kelas, menyibakkan gorden yang lusuh dan kumuh, anak-anak sering menggunakan sebagai pel, Buk Hajir terbelalak dan murid yang lain terkekeh dan bersorak, luar biasa ternyata Agus juga mebawa Kerbau Kesayangannya, kerbau yang selalu menemani hari harinya, selepas sekolah dan dengan kerbau inilah segala sesuatu yang berhubungan dengan tatalaksana pertanian dan cocok tanam disawah diambil alih dan dilaksanakan dengan patuh oleh hewan ini.

Tentu saja tindakan Agus menjadi susasan menjadi berisik, gadung dan mengelegar, Buk Hajir pun tersenyum, sepertinya beliau ingin tertawa lebar, tapi tidak dilakukan karena akan menurunkan kredibilitas beliau dimata murid, dengan bibir sedikit terangkat beliau menyudahi kelas biologi hari ini, suasa pikuk dan hiruk kembali menjalar.

Temanku berbisik ini kali pertama mereka melihat Buk Hajir tersenyum, belum tertawa sobat!.


DARI LANTAI BAITUSHAFA KU GENGGAM CINTA

BAB 18

Sebenarnya, Ayah lebih cocok menjadi guru di MTs bukan di SD, karena sebelum diangkat menjadi Guru PNS di SD No 3 Talang Babungo, sesungguhnya Ayah adalah tenaga pengajar di PGA Balai Selasa. Dan karena pengalaman itulah ketika ditawarkan sebagai tenaga administrasi di Kandepag Solok ayah lebih memilih mengajar, dan orang orang di Kandepag menyetujui.

Untuk beberapa waktu kemudian beliau dimutasi ke MTS S Talang Babungo, untuk memback up kekurangan tenaga pendidik, terutama untuk beberapa bidang studi yang spesifik, Bahasa Arab, atau Lughatul Arabiyah merupakan salah satu bidang studi yang memiliki guru yang langka, makanya ketik disodori tawaran untuk mengajar di sekolah Agama itu beliau ‘ngeh’ saja dan beliau fahami dengan baik seluk beluk bahasa Arab itu.

Bukankah Bahasa Arab bahasa yang penting? Bahasa pergaulan internasional, bahasa yang berlaku tidak saja didunia, tetapi sampai kea lam akhirat kelak, bahasa komunikasi antara firman Allah dengan manusia, bahasa Arab adalah bahasa yang bertutur secara elok, santun, dan menggetarkan. Sesuatu yang Ayahku minati dengan sepenuh hati. Tetapi Jurusan Bahasa Arab adalah jurusan kering dan kurang diminati, wajar saja jika alokasi untuk guru Bahasa Aarab ini sering tidak terpenuhi, bahkan Departemen Agama memberikan peluang yang besar untuk penerimaan jurusan ini.

Bagiku Ayah adalah tipe seorang pengajar yang sangat cermat dan telaten, bertanggungjawab, dan memiliki kepedulian yang tinggi, tampa mempertimbangkan ini dan itu, terutama menyangkut imbalan materi, bahkan didinding rumah kami berserakan alat peraga, semuanya diperuntukkan bagi murid-murid agar dapat memahami dengan mudah pelajaran bahasa arab, baik strukur maupun tata bahasa itu sendiri.

Sebenarnya bukan rumah kami tetapi rumah kosong yang ditinggalkan oleh pemiliknya dan kami sewa, mereka lebih memilih tinggal di Kayu Jangguik, di kaki bukit, jorong yang kalau dilihat dari puncak bhaitus Safa, seperti jenjang tersusun, sawahnya bertingkat tingkat. Kemudian rumah itu kami tempati dengan masa kontrak yang tidak berbatas, dan imbalannya cukup dengan mengganti kalau ada dinding atau lantai yang rusak, atau atap yang bocor itu saja, tidak lebih.

Alat peraga yang terdiri dari kertas karton berbingkai, bertadris, tentang huruf jar, tentang Isim tunggal dan Jamak, tentang Fiil madhi, fiil mudhari’, fiil amar, tentang tsulasi majid, tentang tata bahasa arab, nahwu syaraf. Sebuah metode memahami yang sesungguhnya dianjurkan dalam dunia pendidikan. Cara cara yang efektif sebenarnya agar anak didik memahami dengan baik dan dapat mencerna pelajaran dengan maksimal.

Tampaknya Ayah memang ingin menunjukkan diri sebagai seorang guru yang sangat telaten dan bertanggungjawab, untuk itulah beliau berkreasi sendiri membuat metoda belanajr yang efektif sehingga anak didik dapat menyerap pelajaran dengan baik dan sempurna materi yang dibawakannya sehinggga bahasa arab sebagai bahasa yang rumit, bahasa Arab mesti disajikan dengan cara yang khas dan menarik, dengan demikian peserta didik dapat mengikuti PBM, atau proses Belajar Mengajar baik dan menyerapnya. Bahasa Arab atau Lughatul Arabiyah, berkorelasi dengan hampir banyak mata pelajaran, Syariah, Alqur’an dan Hadist, Aqidah Aklak, Tarikh Islam, dan tenti\u tidak akan bisa mengikuti pelajaran lainnya seperti yang disebutkan itu jika belum memahami bahasa arab, dan lagian yang terpenting bahasa Arab adalah Bahasa Alqur’an yang mulia, dan inilah tanggungjawab besar, bagi ummat agar dapat membaca Alquran secara tersurat dan tersirat, agar tidak mudah digelincirkan!.

Sebagai sekolah yang dikelola Yayasan Bhaitus Shafa, MTs.S Talang Babungo menjadi salah satu andalan orang tua sebagai tempat menggembeleng putra putrinya, dan semua unsure terlibat dalam pengembangan sekolah ini, sehingga wajar kemudian MTs S Talang Babungo menjadi harrapan terbentuknya putra putri yang setidaknya nanti akan menjadi pewaris ajaran Islam dan menjadi benteng terhadap berbagai tandatangan zaman, siapa lagi yang akan menggantikan Buya Radhin Rahman, Rahimi Rahman, Buya H Munir Gani, kalau tidak putra Talang Babungo sendiri, kalau lengah dan Mts S ini tidak dijaga maka arus zaman sangat keras dan melindas.

Ternyata MTs S Talang babungo dapat Survive, terlihat dari grafik peningkatan penerimaan murid baru yang terus menanjak, bahkan menyebabkan daya tampung tidak sesuai lagi dengan sarana dan prasarana yang tersedia, untuk menutupi kekuranagan ruang belajar salah satunya adalah dengan memanfaatkan lantai dua Masjdi Bhaitush Shafa. Disamping usaha pengurus dan kepala sekolah menjuluk bantuan lokal dari Departemen Agama.

Dilantai inilah kami siswa kelas satu belajar, kendati hanya dibatasi triplek, tak membuat semangat kendor, ada kecerian dan atmosfir yang membuat kami larut dalam cerita cerita yang penuh dinamika, cerita cerita tentang pita suara yang mulai berubah, kumis tipis yang bertumbuh, atau teman wanita yang mulai menyukai lawan jenis, aktivitas lempar lemparan kertas, sampai tuliaasan membuai dan selembar amplot berwarna.

cerita tentang Sari anak Talang yang kedua orang tuanya berdomisil di Padang, kemenkana Tanti, Tanti cantiknya minta ampun, Ulfa yang berhidung panjang dan bengkok, , Pilin teman pertamaku, Zulfawardi kakak kelas yang mumpuni, dia pintar bergaul dan pandai sekolah dan tak jarang jadi rujukan.

Termasuk Buk Afni, surah pelajaran Syari’ah yang beliau ajarkan membuatku begitu bersyukur, bahwa aku mengenal mana yang boleh mana yang tidak, tentang halal dan haram, mubah, sunnah, makruh, tentang bagaimana menjadi seorang muslim yang baik, etika shalat, rukun iman dan islam, hubungan lawan jenis, tentang dosa dosa, tentang surga dan neraka, tentang halangan wanita beribadah, tentang poligami yang dibolehkan, tentang dosa dosa yang tidak berampun, tentang wanita wanita yang menjadi muhrim, tentang bacaan shalat, termasuk adab dalam berhutang, Buk Afni sering menjadi sandaran, tempat ayah sering menyuruhkan kemudian memanggul sekarung buntil, hutang.

Ada lagi Pak Wazal Azwar, tidak akan saya temui lagi, seorang guru yang ketika bercerita membuat air mata saya bercucuran seperti hujan lalu. Terutama ketika beliau bercerita tentang Roman Tenggelamnnya Kapal Van Deer Vijh , Kasih Tak Sampai, dibawah lindungan Ka’bah, cara bertutur beliau yang sempurna dan menarik, dedikasi penuh seorang guru sukarela, dandanannya teratur, pemilihan kostumnya yang apik, dan dialah sesungguhnya idola murid murid, pandai bercerita, santun berbicara, dan enak gerak dan tingkahnya, beliau yang kemudian menjadi salah satu inspirasiku dalam menulis. Jika Novel ini terbit Pak Wazal Azwar menjadi salah seorang yang beruntung dapat satu buku ini dengan gratis.

Bapak Yubahar Ahmad, salam hormat saya kepada anda, beliau adalah sosok yang cerdas dan futuristic, sebagai guru matematika, seharusnya membuat kami bersyukur, karena beliau telah menterjemahkan matematika sebagai sahabat, sayang aku termasuk orang yang kurang sukses menggeluti matematika, termasuk turunannya, fisika, kimia, terutama yang menyangkut dengan perhitungan yang rumit, aku berputus asa, tak ada celah, mimpi untuk merakit oto aneh Sisariak terlalu tingga dan iirasional. Yang jelas disamping mengajar Pak Yubahar adalah birokrat yang dicintai rakyat, jabatan Kades beliau pegang sampai bendera putih beliau angkat, tetap saja beliau terpilih, tidak sama dengan terpilihnya Pak Harto.

Masih banyak lagi Ibu-Bapak guru yang mengabdi tampa mengharapkan pamrih, kendati tak digaji, kalaupun digaji tapi tak seberapa, tetapi dari rona wajah mereka terpancar keiklasan dan rasa tulus, ada kebanggaan jadi guru, jadi seorang ustadz, yang melayani anak didik, memberi surrah, wejangan, pengalaman dan panduan hidup, sesuatu yang membuat mereka bermartabat.

Jika Buk Muslimah, memberikan begitu besar perhatian bagi anak didiknya dalam Tetralogi Laskar Pelangi, maka Buk Ratnailis, Pak Imam Abrar, Pak Yasrul Yasin atau lebih akrab dipanggil Pak Yeye, orang-orang yang sesungguhnya ‘lupa’dicatat dan dinukilkan dalam novel-novel dan cerita romantis, tetapi dalam benakku, akan tersimpan rapi, dengan segala hormat dan rasa terima kasih, anda telah membuatku dan seluruh anak didikmu ‘memaknai’ hidup dengan sesungguhnya, membuka mata hati, bahwa iklas menjadi modal dalam menempuh perjuangan hidup ini.

Ayah mungkin agak sedikit lebih ‘beruntung’ karena secara finansial pemerintah memberi gaji tiap bulannnya, dilapangan pengabdian semua menjadi tidak berarti apa-apa jika Ayah tidak membuka diri dan bersoalisasi, makanya ‘ketekoran’ penghasilan tidak membuat kami kelaparan, ayah ternyata memiliki banyak kemenakan di Talang Babungo, semua orang, besar kecil, tua-muda, tampa memandang suku, memanggil ayah dengan sapaan ‘mamak’ sebutan yang membanggakan, sehingga ada-ada saja sedekah beras, padi, ampiang, kareh-kareh, sayur mayur, dan apa saja yang nyaris mebuat kami ‘makmur’ ditengah keterbatasan.

Ayah menjadi mamak bagi kemenakannya yang banyak, tentu saja ayah menjadi sandaran keluh kesah dan beragam masalah anak kemenakannya itu, bertengkar suami istri, sengketa warisan, masalah air sawah, anak yang malas dan bandel, persoalan bujang lapuk dan perawan tua, minta diobati, tidak punya keturunan, tanaman diserang hama babi, atau bermacam kepandaian ilmu ghaib, semua ditangani ayah secara baik dan memuaskan, tentu saja ‘mamak’ dapat memberikan jalan keluar itu dengan solusi-solusi yang dapat diterima dengan akal sehat dan tidak mengada-ada, karenanya ayah tidak terkesan ‘gadang ota’, karisma beliau mengantarkan banyak persoalan dapat diselesaikan dengan kepala dingin, bukan dengan jurus masuk angin, elok dan tidak pakai golok.