Kamis, 22 Januari 2009

RIMBO TAKAPUANG TANAH HARAPAN

BAB I

Pagi sekali, dengan selimut temaram, embun masih setia dalam tidur, langit Rimbo takapuang dipenuhi ribuan kalong berkeliaran, ramai sekali, hilir mudik seperti Pekan Sabtu saja, Hari saat terjadinya berbagai pertukaran barang dan jasa, antara penjual dan pembeli, saat serah terima antara produsen dan konsumen.

Kalong bergerak tak beraturan laksana pialang yang tengah bertransaksi di bursa, sibuk-sibuknya, sebuah aktivitas rutin kalong menjelang terang menjemput.

Kalong menjadi salah satu cerita alam untuk sebuah pelajaran bagi manusia, Tuhan menceritakan bahwa siang bukan lagi milik burung menakutkan ini, karena saatnya berkemas, memberikan tugas kepada makluk siang.

Tugas kepada kita manusia.

Ketika itu umurku belum mencapai lima tahun tetapi aku sudah mulai tahu samar-samar bahwa Ayek Aki mengendongku dipundaknya, berayun ayun, melintasi semak belukar. Kami seperti orang Vietnam yang terusir, meninggalkan negeri sebagai orang yang kalah.

Langkah pertama yang mulai kumengerti.

Kawasan hutan ini bukanlah hutan perawan dan sudah pernah dijamah, tampak dari bukti-bukti yang masih ada, tentu saja karena sebelumnya ada pemukiman disini dan dari bukti-bukti yang ditinggalkan itu, nyata bahwa areal ini pernah dijadikan tempat bercocok tanam dan bermukim, lalu ditinggal pergi penduduknya. Entah kenapa.

Menurut keterangan Yek Aki, lahan ini pernah digarap oleh semendanya, bernama Zainal, yang memperistri adik perempuannya yang paling bungsu, entah kenapa kemudian Ayek Aki mewariskan pekerjaan penggarapan ini harus jatuh ketangan Ayahku.

Untuk menggarap lahan ini dibutuhkan orang orang yang gigih dan tidak sembarangan.
Semangat pantang menyerah inilah yang masih dimiliki ayahku, butuh perjuangan dan usaha gigih. Kalau ingin benar-benar menaklukkan tanah rawa.

Kalaupun ada yang berladang dikawasan itu tentu bukanlah orang sembarangan, artinya butuh orang-orang berjiwa petualang, pantang menyerah dan tahan banting.

Ya, seperti ayahku, mau menggarap lahan yang marimba, kayu-kayu berdiri kukuh, teduh dan temaram. Kecuali ada sedikit lahan yang pohon pohonnya agak kecil dan disesaki tumpuhan perdu, pakis hutan yang berpulun pulun dan sangat liat, perkakas pun akan dibanting dan letih.
Rimbo Takapuang, begitu orang menamakannya tergambar suasana asri hutan rimba yang belum tergarap dan sekliling pandangan kita disungkup gelap dan suara burung burung dan jelata rimba saja yang membuat ada simponi ditengah rimba itu.

Ditengah rombongan disamping aku dan Yek Aki, tentu ada Yek Usi, ayah dan ibuku serta kakak dan adikku, tiga generasi yang sedang menantang alam, untuk mencari hidup, berpindah dari desa ke hutan, back to forest, dari budidaya dipersawahan beralih keladang dan perkebunan. Disawah dengan padi dan palawija beralih ketanaman keras seperti kelapa, jengkol, pinang, mangga, rambutan, petai disamping tanaman muda, jagung, ketela pohon pisang. sebuah keputusan mundur dari kacamata sosiologi dan antropologi?

Hijrah kehutan bukan pula sebuah keputusan yang salah, atas saran Yek Aki, Ayah dan Ibuku harus berekspansi mencari daerah baru untuk dijadikan lahan garapan.

Sementara lahan persawahan yang dikuasai Yek Usi, memang tidak memungkin lagi bagi ayah dan ibu untuk tetap bertahan, Yek Aki tidak punya pilihan lain, lahan dan rumah sudah over capacity.

Tampaknya keputusan ayah mengungsi dan ‘terusir’ ke rimbo takapuang menimbulkan kontroversi bagi keluarga ayah, bahkan mereka menduga ayah sengaja diusir kerimba.

Dari sekian minantu Ayek Aki, hanya ayahlah yang berlatang belakang orang rimba, peladang, pekebun dan berjiwa non bisnis alias manggaleh. Oleh karenanya sangat cocok untuk melakukan budidaya dihutan seperti ini. sirih lah pulang ketampuknya.

lain, Bagi ayah bahwa ia menganggap keputusan ini sebuah keputusan bijaksana, keputusan yang brilian dan tepat. Karena memang sejak tangis pertama ayah pecah hutan dan rimba adalah sahabat , kecamuk yang berkeliaran dibenak sanak famili bukanlah urusan harga diri atau moral tetapi langkah mengungsi ini semata mata adalah langkah radikal untuk sebuah pertarungan melawan hidup itu sendiri.

Kendati lahannya luas tetapi memang orang-arang yang berhati batu saja yang akan mau menggarap lahan seperti itu, kadar keasaman tanah yang masih sangat tinggi dan kurang cocok dijadikan lahan perladangan, kalaupun etumbuhan bertumbuh tetap saja meranggas, hidup segan mati tak mau, benr benar lahan lahan tidur dan tidak produktif, gersang, berayun-ayun dan jika matahari menggigit rumput menjaadi hangus terbakar, hitam, legam.

Ayek Aki melemparkan pandangan jauh, dan disekitar inilah pada jaman tentara jawa penyerang kaum pemberontak PRRI yang menggagu keutuhan negara berladang disini, sehingga pohon pohon yang tumbuh bukan lagi pohon utama yang rimbun dan luasnya 120 x 220 depa siaman, dan dari tepi Bandar yang hamper diselimuti rumput liar, masih dilalui air yang mengalir, dan agak ketengah lahan masih ada sisa-sisa rumah panggung yang sempoyongan di tinggal waktu.

Sebagai seoarang tamatan pendidikan di PGA 6 tahun, kata lelah dan berputus asa adalah pantangan, toh, tanah ini dulu pernah digarap para pejuang kemerdekaan bagi Sumtera tengah, tentu pohon yang menjulang kelangit telah mengaburkan pandangan tentara jawa, toh kalupun mereka masuk kesana, mereka tidak akan bertahan, bisa-bisa sepatu dan bedil mereka terkubur dalam ayunan lahan gambut itu, mereka terkepung.

Tampak sekali sisa sisa peninggalan para pengunsi seakan menjadi saksi bahwa lahan ini pernah ditempati dan menjadi markas para pejuang, Ultimatum jawa agar mereka kembali dan tidak maker hanyalah usaha sia sia, karena rakyar Sumetara tidak ingin terus menerus dibodohi dan menjadi bulan-bulanan pemerintah puasat.

Yang mengarap lahan ini sebenarnya adalah adik perempuan Ayek Aki dan suaminya Yuang Ambi meraka menggarap lahan kemudaan setelah pemberontakan dapat dipadamkan, mereka kembali ke tengah kampong dan meninggalkan rimba takapuang dan tidak pernah kembali lagi.
Tentu saja Yek Aki berhak untuk kembali menggarap lahan dan mandate itu diberikan kepada Ayah dan Ibuku, lahan dikampung sewah pertaunan, tidak cukup lagi dan terlalu sempit, etek-etekku yang sudah bekelurga dan punya tanggungan diberikan hak bergilir untuk bercocok tanam disawah yang sejanjang. Tentu persoalan makan tidak untuk digilir, bisa bisa marasmus, perut buncit, mata jadi cekung, dan kalau dilihat lihat seperti anak tuyul saja.

Kami seperti serombongan kafilah dengan segerombolan onta-onta yang bertekuk lutut menghabiskan rasa lelah, mengabarkan kepada hutan dan segala penghuninya bahwa kami bermaksud baik membuka kembali sebagaian rimba yang dulu pernah didiami moyang dan tettua yang menancapkan keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat kami menggantungkan nasib. Dan kami adalah kafilah yang karena lapar harus hijrah.

Sebenarnya rimbo takapuang tidaklah terlalu jauh dari kampungku, karena berjalan diantara semak dan belukar, perjalanan sedikit menyita waktu, apalagi kawasan ini menjadi daerah resapan air sehingga menjadi lebih lunak dan bergambut. Dan karena kontur tanahnya yang labil maka masyarakat enggan untuk berladang.

disamping masih banyaknya hama babi yang menjadi predator bagi tanaman apa saja, biasanya jika hama babi melakukan serangan maka lahan yang semula menjanjikan menjadi porak poranda seperti porandak porandanya semangat petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar