Kamis, 15 Januari 2009

POLA KARIER PNS

Menarik membaca tulisan Sdr Rismal Hadi, STTP, MSi, yang berjudul “ Jabatan Struktural Milik Siapa?, pada harian Singgalang, terbitan Rabu, 26 November lalu, bahwa ada semacam ‘kerisauan’ terhadap politisasi jabatan struktural. Hal ini beralasan karena disinyalir pengisian jabatan structural bukan lagi mempedomani ‘pola karier Pegawai Negeri Sipil’ berdasarkan Undang-Undang No 43 Tahun 1999, tentang kepegawaian tetapi lebih kepada ‘like and dislike’.

Suka dan tidak suka berkairan erat dengan banyak factor dan sangat emosianal sekali, jika pola pengisian jabatan lebih pada rasa suka dan tidak suka tentu apa yang dikuatirkan bahwa pelaksaaan pemerintahan akan diisi oleh orang orang yang tidak kualified, dan hal ini tentu akan menjadi catatan bagi public, kepada Kepala Daerah yang sedang ‘mamacik’.

Lebih jauh lagi jika budaya kedekatan, sekampung, sesuku, sedaerah, dalam pengisian pejabatan structural, disungkup oleh primordialisme sempit, nepotisme dan tentu saja akan sangat berbahaya, dan resikonya tentu juga akan berimbas kepada daerah dan kebijakan daerah secara umum.

Sehingganya, kemudian banyak para PNS yang kasak-kusuk apabila ‘musim’ mutasi datang, melakukan berbagai upaya untuk menduduki jabatan structural tertentu mulai dari cara yang biasa sampai cara-cara yang tidak biasa, kedukun atau para normal misalnya. tentu saja aneh jika hal hal yang tidak wajar seperti itu dilakukan. Sepanjang memiliki kopetensi sesuai dengan jabatan yang diperlukan dan kualifikasi pendidikan mengapa harus risau.

Pola karier sesungguhnya adalah pola pembinaan pegawai negeri sipil yang menggambarkan alur pengembangan karier yang menunjukan keterkaitan dan keserasian antara jabatan, pangkat, pendidikan dan pelatihan jabatan, kopetensi, serta masa jabatan seorang Pegawai Negeri Sipil sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu hingga pensiun.

Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) sebagai Pembina kepegawaian daerah tentu saja tidak akan gegabah dalam penentukan para pembantunya yang akan menjadi kaki tangan dalam pelaksaaan program-pragram, untuk itu pengisian jabatan structural memang dirancang sedemikian rupa, dan diperuntukkan bagi orang orang yang dapat melaksanakan kebijakan daerah yang tertuang dalam APBD. sehingga diharapkan jabatan struktural yang dipegang oleh orang yang kompeten akan memberikan out put lebih baik, dan terukur.

Makanya, diberbagai kesempatan pelantikan para Kepala daerah selalu berharap agar para pejabat yang dilantik untuk dapat memperlihatkan prestasi kerjanya sehingga dapat dievaluasi secara berkala, apabila memang tidak mampu maka para pejabat yang dilantik harus rela dicopot jabatannya sebagai konsekwensi jabatan tersebut.

Namun, dalam praktek ancaman ’pencopotan’ bagi yang bekinerja kurang bagus masih sebatas gertak sambal belaka, dan kita tidak mendengar ada pejabat yang ’dicopot’ gara-gara kinerja tidak prima, jika parameternya kinerja, tapi kalau parameternya, suka setor muka, ABS, sering membuntuti kepala daerah kemana pergi tentu saja tidak akan bertemu rueh jo buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar