Kamis, 15 Januari 2009

CERITA UNTUK MYANMAR

Tidak saja Junta Myanmar yang kalang kabut, tetapi masyarakat internasinal terkasiap, turut berduka cita atas segala penderitaan yang menimpa rakyat, sesungguhnya Badai Nagris adalah rentetan dari badai dahsyat yang tengah melanda negeri itu, begitulah kalau kekuasaan dipakai sebagai lambang dan kesombongan, rakyat menderita dan segelintir saja yang berpesta, lalu adakah pembelajaran berharga bagi junta, saat 100.000,- jiwa menggelepar dan akhirnya mati, saatnya sanubari para pemimpin dan pengambil kebijakan dinegeri tertutup itu membuka mata hatinya untuk memahmi kondisi terkini dan membiarkan demokrai bersemai dan tumbuh.

Ada banyak pelajaran yang dapat dipetik dari cerita tentang nasib tragis Myanmar dan Aun San Shu Yi, tokoh prodemokrasi yang hidup dalam terali besi hanya karena menuntut persamaan didepan hokum, pengelolaan Negara, hak dan kewajiban dan kesamaan martabat antara manusia yang satu dengan yang lain, atau sekedar mempertimbangkan bahwa gender bukan persoalan berarti untuk partisipasi.

Kurunglah raganya tetapi hati dan pikirannya akan terbang menembus batas apapun meski tempok tebal, begitulah perumpaan jika hokum, keadilan dan rasa persaudaraan dan kesamaan dalam segala segi apapun dilecehabaikan, tidak juga untuk kenyaman beraktivitas social maupun politik, rakyat menjadi kenyang itu pasti dan mutlak tetapi ketika laparpun rakyat butuh persamaan kendati harus bersuara lantang, dan kondisi ini telah membawa perubahan banyak bagi demokrasi di Indonesia.

Maka, tidak ada salahnya kita merasa beruntung bahwa system demokrasi telah membawa pada perubahan besar dan radikal bagi perikehidupan di negeri ini tetapi memang disana sini ada berbagai kelemahan yang menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan antara pemenuhan dan kewajiban, tetapi setidaknya dari pada tidak sama sekali, celah terbukanya kran demokrasi dapat menjadi tauladan bagi Negara tetangga yang ingin belajar banyak dari kesuksesan Indonesia memformulasikan demokrasi dan kebebasan.

namun, tentu saja demokrasi yang kita bangun masih harus terus berkembang, sehingga demokrasi tidak sekedar persoalan suara, kebebasan berpendapat, HAM, kesetaraan hukum, memilih dan dipilih, tetapi sejatinya demokrasi hanyut sampai kemuara kesejahteraan.

Kalau tidak, demokrai yang saat ini kita nikmati akan menjadi bomerang, ketika rakyat tidak mendapatkan “kesejahteraan” sebagaimana janji demokrasi, maka tentu saja demokarasi akan tercampak dan terpojok.

Saat ini, banyak sekali kecaman yang timbul, dan kritik itu salah satu penyebabnya adalah demokrasi yang kita usung ternyata berat diongkos dan ribet. lihatlah bahwa data terakhir dari berbagai lembaga survey terpercaya menyajikan data bahawa makin rendahnya tingkat partisipasi rakyat pada berbagai Pilkada menunjukkan bahwa rakyat mulai jenuh, dengan rosponsibiliti yang turun tajam.

Coba kita bayangkan, berbagai versi pemilu atau setidaknya proses demokrasi mulai dari tingkat paling rendah samapi proses politik paling tinggi, dadri pemilihan Kepala Desa/wali nagari, pemilihan Kepala Dearah Bupati./walikota, gubernur, pemilu DPRD Kabupaten/kota dan DPRD Propinsi, DPR, DPD, serta Pemilu Presiden, kesemua itu membuat rakyat lelah.

Dalam tataran pembelajaran politik ternyata dinamikanya luar biasa, tetapi pada saat bersamaan bila diukur dari seberapa besar keinginan masyarakat merespon demokrasi akibat ulah perilaku “hasil” pemilu ternyata tingkat kepuasan masyarakat sangat rendah.

Hal ini akibat kebijakan pemerintah atau eksekutif dan legislatif yang tidak sesuai dengan harapan rakyat, justru kepercayaan yang rakyat berikan ternoda terutama berbagai persoalan yang membelit lembaga eksekutif dan legislatif yang mendapat amanah dari publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar