Kamis, 15 Januari 2009

SENGKARUT KETATANEGARAAN INDONESIA

Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengakui suara terbanyak membuat jagat perpolitikan menjelang 2009 berubah arah. JIka selama ini para elit politk yang menduduki nomor urut atas bisa ongkang ongkang kaki harus terjun langsung mencari dukungan. Kalau tidak bersiaplah untuk gigit jari.

Keputusan MK yang diputus oleh 9 orang hakim, membuat 550 kepala Anggota DPR RI menjadi sia sia dan tidak berguna, suatu fenomena menarik, jika dikaji dari sisi politik dan hokum, artinya apa bahwa banyak tidak menjadi jaminan untuk menghasilkan sebuah kesepakatan pollitik yang langgeng dalam bentuk produk hokum Undang Undang ini.

Tentu saja, dari sisi manapun ada ganjalan, bahwa untuk menghasilkan kesepakatan politik itu butuh lobi dan tarik ulur sehingga berbagai kepentingan terakomodir dengan baik dan efektif. tentu saja kita tidak hendak menggugat keputusan MK itu, tetapi dari perspketif system ketatanegaraan kita menghadapi problem.

Problem politik dan harga diri, sengkarut ini harus segara di selesaikan dengan solusi yang tepat dan pas, kalau tidak mekainisme yang seperti ini akan menimbulkan distrosi, legislative senagai lembaga yang berwenang membuat produk hokum, tetapi kemudian dibatalkan oleh MK, sebagai pengemban kepentingan ‘pengawal konstitusi’ akan dengan mudah dan gampang, membatalkan dan merubah keputusan politik legislative.

Persoalannya adalah sejauh mana produk politk yang dihasilkan DPR dan Pemerintah yang dihasilkan itu dapat memberikan ruang yang lebih harmonis dengan konstitusi, andai masih ditarik tarik kearah kepentingan politis sempit tentu saja persoalan ini akan terus berlanjut, dan besar kemungkinan produk hokum yang dihasilkan akan bernasib sama dengan UU No 10 Tahun 2008, yang salah satu pasalnya yakni pasal 214 dibatalkan dan revisi. persoalannya jika dibatalkan tentu aka nada perbaikan atau revisi, bisakah keputusan itu langsung diimplementasikan tampa dibawa kemeja legislative, pertanyaan ini penting untuk memaknai arti final dan mengikat keputusan MK itu.

Jika keputusan itu bisa diberlakukan, lalu dasar hukumnya apa dan MK sendiri bukanlah lembaga negara yang bisa mengeluarkan UU, lalu bagaimana eksistensi UU No 10 Tahun 2008 khusus pasal 214 itu, kalau memang Aarhus di revisi DPR, bagaimana andaikan DPR tidak melakuakn tugas ibi dengan segera sementara tenggat Pemilu makin kasib. jika ini yang terjadi, maka persoalan yang muncul adalah perbaiki UU Pemilu, jika sampai April 2008 belum juga selesai, maka akan terjadi kekosongan hokum, dan bisa mengancam legitimasi pemilu legislative.
Untuk mengatasi persoalan ini langkah yang agak tepat dan cepat adalah Pemrintah harus segera mengeluarkan PERPU, untuk mengisi kekosongan aturan hokum ini, jika melalui mekanisme revisi UU akan sangat tidak memungkinkan mengingat para legislator Senayan saat ini tengah sibuk menjual diri untuk Pemilu 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar