Kamis, 22 Januari 2009

JAGUNG REBUS UNTUK AYAH

BAB 4

Sebuah perjalan jauh dan melelahkan, aku baru kali pertama naik benda aneh seperti ini, tidak seperti bus yang selalu hilir mudik dikampungku saban pagi setelah subuh, tidak seperti PO Sinar Lengayang, yang tampilannya elegan, dan nyaman, tetapi ketika turun dari bus Desa Bakti diterminal Alahan Panjang, sebuah kendaraan aneh itu telah menunggui kami.

Seorang pria berjambang, berkacamata hitam menghampiri jinjingan ibu dan tampa babibu mengankat jinjingan tas Ibu, dan kemudian mempersilahkan naik keats mobil aneh ini.

Mobil itu kemudian kuketahui adalah keluaran tahun 1956, dengan spesifikasi kepalanya menonjol kedepan, hamper sepertiga dari keseluruhan panjang mobil itu, ada enam roda yang kesemuanya aneh dan tidak seperti mobil sinar lengayang atau gunung kulam, dan yang lebih aneh lagi, mobilitu memilki bunyi klakson yang akan membuat hati kita ringkih, klakson yang bernyanyi laksana suara saluang, atau musik khas minang yang selalu dinyanyikan efrinon.

Suaranya tentu memecahkan keheningan, Jika Oto anaeh ini lewat, para petani berhenti sejenak, takzim, suara nyayian klasonnya yang nyaris dan mendayu meredakan kepenatan dari segala aktivitas yang sedang dilakukan.

Disepanjang perjalanan yang menyisiri punggung bukit bariasan, alahan Panjang dan Talang Babungo, kendati jaraknya tidak lebih dari 15 Km tetapi karena kondisi infrastruktur yang masih belum layak maka perjalanan itu ditempuh dengan sedikit tambahan waktu dan tingkat rresiko yang sewaktu waktu datang, maut tentu tidak akan segan segan untuk menjemput jika sang sopir tidak bisa mengendalikan diri.

Tidak mobilnya saja yang aneh, sopirnya juga rada aneh, jambangnya seperti rumput liar yang menyemak di rimbo takapuang, sebuah topi berdaun lebar bertengger di rambutnya yang kribo, dan agak gonrong tetapi sangat tebal, dan sebuah kaca mata hitam yang selalu setia bertengger di pangkal hidungnya yang besar dan agak bungkuk. Seperti layaknya Cowboy.

Beberapa orang penumpang sebenarnya ingin merebahkan kepala, tetapi joknya terlalu keras untuk menjadi sandaran kepala, dan bisa bisa ka nada sedikit benjolan ketiak peumpang tidak bisa mengendalikan kantuknya akibat ternatuk, ternyata sopir aneh ini sudah mendapat pesanan dari Ayah untuk membawa kami Talang Babungo, negeri baru, dan temapt ayahku mengabdi sebagai guru.

Mobil itu mendadak berhenti, dan sang sopir bergegas turun seperti sorang sopir pribadi yang mempersialhkan tuan nyonya turun, dalam benakku bagaimana pula ayahku menegenl orang ini, aku tahu ayah adalah orang surau, dia akan gamang bertutur dengan orng seperti itu, tetapi sepertinya orang itu sepertinya sudah begitu denkat dan hormat kepada ayah, dan ini terasa sekali ketika sebagaian penumpang buka pintu dan turun sendiri, bahkan barang bawaanya ya ditangani sendiri, sang Sopir memelototi para penumpang dari sebuah kacaspion besar yang tidak lagi utuh, sepertinya kaca yang dilempari para pengunjuk rasa benpendar membentuk jejaring seperti jarring laba laba.

Ayahku berbasa basi, dan sang sopir itu ternyata juga bernama aneh, Sariak. Serba aneh memang, baru kali ini aku menemui sesuatu yang serba aneh dan nampaknya aku mulai suka keanenhan ini, baru saja kakiku menginjak tanah, aku merasa peraasaan yang luar biasa antara perasaan senang dan gembira hadir di tempat baru dan dengan orang-orang baru, rumah rumah berjejer saling berhimpitan, ada sebuah bangunan masjid besar, dan mencolok, kontras sekali dengan seluruh bangunan yang ada di nagari itu. Baitusshafa, begitu nama masjid itu, konon kabarnya masjid besar dan megah itu adalah bantuan dari Raja Arab Saudi, masuk akal kalau kemudian sebuah bangunan berlantai dua berdiri ditengah tengah pemukiman penduduk. Megah dan elegan.

Ternyata ayah tinggal disebuah rumah papan yang juga unik, lantainya agak tinggi, dan untuknaik keatas rumah kita harus menaikin 6 anak tanggga, ada satu ruangan tamudiabatasi dua bidang dinding, dan satu kamar tidur, sementara dibahagian belakang rumah ada ruangan yang agak lapang, sepertinya ruangan ini adalah ruangan yang berfungsi sebagai ruangan makan, sekaligus ruangan keluarga, jika sedang ada tamu ruangan ini berfungsi juga sebagai tempat tidur, dan tentu saja ada bangunan yang seeprtinya tertemel kediding belakang dan berfungsi sebagai dapur. Rumah ini adalah rumah tinggal dan dan siempunya rumah menag bermukin agak jauh di tepi gunung menjagai ternak dan perkebunannya.

Pertemuan pertama semenjak ayah meninggalkan danm merantau kesini, hamper enam bulan dan tentu saja aku rindu bukan kepalang, kepalaku diusap usap ayah aku tidak digendong karena sudah terlalu besar untuk digendong, dan tentu saja keriangan yang tak terhingga, begitu juga Ibu, kami bertiga berbincang panjang lebar, tentang kampong, tentang sawah, tentang rimbo takapuang,, tentang jabatan Kades yang ditingalkan, tentang proyek CWC kelapa hibrida yang ayah rintis, tentang sanak famili yang antusian dengan berbagai gossip kampong, atau tentang siapa siapa yang masih memilih membujang atau tetap saja belum punya laki laki untuk mendampingi hidup, siapa siapa yang sudah mati berpulang, akibat apa, ditanam dimana, bagaimana istri dan anak keturunnya, atau cerita apa saja tentang aku dan saudara saudaraku. bahkan sampai jauh malam ayah dan ibu masih bercerita, suara yang makin sayup sayup dan hilang bersama rasa kantukku yang kian parah.

Hamper dua minggu aku dan ibu bersama ayah, melepas rindu, sementara kakak dan adikku tidak ikut serta, mereka dikampung diasuh Ayek Usi, saban sore aku kebagian mencari makanan ringan kalau tidak jagung rebus, ya jagung baker, aku hapal betul bahwa ayah selalu berpesan agar dicarikan jagung yang baru diangkat dari tungku, yang masih panas.

Setelah aku dewasa aku baru paham bahwa jagung itulah yang membuat hamper setiap dua tahun aku memiliki adik baru, kalau tidak jagung rebus ya jagung bakar, yang panas dan kalau yang sudah dingin agar direbus lagi hingga terasa panasnya, ayah dan ibu bercerita di interval waktu antara rumah dengan tempat kalau tidak jagung rebus ya jagung baker tapi yang masih panas, kalau sudah dingin ya dipanaskan, kata sandi yang kuhafal dan pada hari hari berikutnya tampa komando “ jagung rebus atau jagung baker yang masih panas, kalau sudah dingin ya dipanaskan” menjadi kalimat ajaib mengapa Ayah dan ibu terlihat sumringah. Lebih lebih ibu, sesuatu yang logis dan masuk akal berdasarkan kajian fitrah dan naluri manusia dewasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar