Kamis, 22 Januari 2009

KISAH SEPASANG SANDAL JEPIT

BAB 10

Ada yang unik, Batang gumanti saban waktu ramai dikunjungi, terutama disepanjang aliran yang melalui pemukiman penduduk, sungai yang berhulu dari danau diatas itu, memang menjadi salah satu andalan bagi masyarakat guna mencukupi kebutuhan akan air, kecuali air minum, semua aktivitas dilakukan dialiran ini, mulai mandi, mencuci pakaian, menagkap ikan, buang hajat, sampai berthaharah.

Baitush Shafa persis berada diatas Batang Gumanti, bangunan yang berdiri kokoh, jika aku bermain main dipuncaknya maka akan sangat jelas, bagaimana Talang Babungo dikelilingi perbukitan, kita serasa berada dalam kuali besar, nun jauh disana hamparan sawah berjenjang dan bertingkat tingkat, padi sepertinya sudah mendekati masa panen, beras solok akan keluar dan menjadi rebutan.


Dimasjid ini, gharinnya seorang yang sangat setia, bahkan untuk memantapkan pengabdiannya, pengurus sengaja mendirikan sebuah bangunan mini untuk menampung segala aktivitas sang gharim, dia dan istrinya memiliki beberapa anak,

Tetapi yang paling kuingat, dia memiliki dua orang anak yang memiliki dua sisi yang bertolak belakang, seperti siang dan malam

Al Arqam memiliki seorang adik Siman, Alarqam terlahir normal, siman sepertinya pernah terkena deman tinggi sehingga dalam tubuhnya yang dewasa bersemayam sikap kanak-kanak, dan tentu saja pergaulan sehari hari, dia sebenarnya mampu berkomunikasi, tetapi sering dianggap sebagai sebuah komunikasi tampa korelasi dan koneksi, tidak ada take and give, komunikasi seperti kita mendengar balita yang sedang belajar ngojeh.

Siman memang bukan makluk kutukan, dia bisa melakukan perbuatan atau tindakan layaknya manusia dewasa, termasuk dalam soal berbagai aktivitas ibadah, shalat misalnya, tapi sayang, semuanya sekali lagi seperti seorang anak yang membeo gerakan orang tua, beramal tampa makna dan muatan apapun, kepalanya liar, pandangannya melayang kesegala penjuru mata angina, apalagi akalnya, ingatannya entah pergi kemana.

Al Arqam kendati agak kalem, namun ia sudah mampu menggantikan beberapa fungsi dan tugas bapaknya, memukul beduk pertanda waktu tiba, jadi muazin , dan kadang kala mengepel ubin masjid, menjemur tikar, membetulkan waktu papan shalat, memstel tone speakers atau sekedar memasang tonggak mik yang copot, bahkan menjadi imam.

selebihnya dia berdiri dipasar-pasar dengan sebuah bejana besar, agaknya berbahan dari plat atau seng, pria ini terlalu lugu dan agak terkesan pemalu, jalanya gontai tetapi dari parasnya terpancar semanagat dan dinamika.

Sebagai seorang pengusaha ekonomi bawah, produk kopi bubuk produksinya termasuk yang banyak dicari, laris. Dengan Aroma bau dan rasa yang menggoda sehingga menjadi idola bagi penngemar minum berkaffein itu.

Pagi sebelum berangkat sekolah, aku selalu sebelum mencebur ke dalam air bersuhu dibawah 15 derjat itu, aku selalu mengambil nafas,berkelumun sejadi jadinya, sepertinya ada rasa enggan menaggalkan kain sarung yang kupakai, “ wuih, air batang gumanti dingin menggigit tidak seperti batang lengayang, yang diam dan sejuk, tidak ekstrem seperti air” gumanku membathin.
Sejurus berikutnya, aku tersadar dari lamunan bahwa sandal jepitkan hanyut tertatih tatih menyisiri aliran batang Gumanti, yang berbatu-batu, dan aku berteriak-teriak, sayang tidak ada yang peduli, membantu sandakku, karena keburu jauh dan akhirnya hilang dalam liukan air yang beradu batu.

Aku masih melihat ada sedikit usaha dari Siman yang berlari kehilir, tertatih-tatih pula seperti perjalan sandal jepitku, tapi sepertinya akan sia sia belaka, karena siapa pula yang mau menyelamatkan sandal jepitku, karena resiko dingin lebih berharga dibanding sebelah sandal jepit itu.

Bahkan Al Arqam berusaha menghiburku “ Jangan terlalu bersedih Ndi, milik kita akan tetap menjadi milik kita dan tidak ada pula orang yang dapat mencegahnya, Allah itu maha kaya dan maha tahu” sebuah pelajaran pagi dari seorang yang mumpuni.

Tapi sebagai rasa bersalahku, maka yang sebelahnya lagi tetapku bawa pulang, sabagai barang bukti atau setidak tidaknya sebagai bahan laporan kepada Ibu.

Tiga bulan telah pula berlalu, Minggu ini Ibu akan ke Talang Babungo, karena memang sekali dua minggu aku dan ayah akan menyongsong ibu ke Pinti Kayu, tapi Minggu ini ada perubahan jadwal dan pesan kepala sekolah tempat ibu mengajar, Pak Abdul Muluk, Ibu ada kegiatan sekolah melatih anak anak menggambar dan membaca bacaan shalat, sehingga giliran aku dan ayah ke Sariak Alahan Tigo.

Seperti biasa, pagi sekali aku dan Ibu serta ayah menyisiri punggung ngarai hingga sampai ditepi Batang Gumanti, Rutinitas ibu mencuci pakaian, dan mandi, sambil bermain aku merendam badan di aliran air, memang tidak seektrem suhu talang babungo, sariak alahan tigo lebih sejuk, jika di talang babungo pohon kelapa meolak untuk berbuah, tetapi disariak kebalikannya, pohon kelapa berbuah lebat, dan bisa menghasilkan kelapa untuk kebuthan talang babungo,

aku terkejut karena ada sebuah benda tersangkut di tepi tepian sepertinya sebuah benda, benda yang pernah kukenal, ya itukan sandalku, sandal yang dulu hanyut, sandal yang baru seminggu menemani kakiku, aku berteriak girang, ayah dan ibu heran, dan mereka pun mematur matut benda temuan ku, untuk ikut memastikan bahwa itu benar benar sandal jepitku yang pernah hanyut dialiran batang gumanti,

Aku sepertinya tidak percaya sebuah kebetulan ataukan sebuah perjalan yang sudah diatur tuhan? Bukankah selembar daun yang jatuh dan terkulai menjadi pengetahuan Allah, apalagi ini sendalku yang kubanggakan kepada teman temanku, sebuah sandal baru, baru seminggu kumiliki tiba tiba hilang ditelan aliran batang gumanti, ya sendalku disisi sandal itu masih terukir namaku, karena setiap memiliki sendadl baru aku akan selalu mengukir namaku di sampingnya, karena bisa saja ada yang usil kemudian berusaha untuk memilikinya dengan berbagai cara. Sebuah keajaiban tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar