Selasa, 13 Januari 2009

MAAFKAN AKU, IBU

Malam kian pekat, hiruk pikuk rumah sakit masih sayup, yang terdengar rintihan para pasien, ruang Bangsal kelas III, Aku tak bisa menahan kantuk, kantuk yang amat berat, Sosok lemah dipembaringan, Ibuku, itulah yang mampuku mampu mengusir rasa kantuk itu. Hampir sebulan Ibu tergolek lemas, gagal ginjal yang membuat Ibu tidak berdaya. Raga Ibu makin tipis, ada rasa hiba yang tiba-tiba menusuk ulu hati, raga yang beberapa bulan lalu masih segar dan berisi, kini kurus kering, selang infus dan ogsigen bergelayut, belum lagi keteter membuat Ibu benar-benar tersiksa.

"Panas, Ndi, Kipas Ibu" suara lirih Ibu, tubuh ibu basah, cairan infus yang membasahi seluruh jaringan dalam tubuh memang tak mampu lagi menyerapnya, apalagi kantung kemih ibu tidak lagi mendapat suplai akibat ginjal yang berhenti berfungsi, makanya cairan itu meluber menembus pori-pori, kulit basah. Agaknya inilah yang menyebabkan ibu selalu merasa panas, dan aku memenuhi permintaan ibu, mengayunkan kipas kesekujur tubuh.

Denting jam berbunyi lebih keras, seiring dengan detak jantung yaang makin tidak teratur, ada rasa yang kembali merayap keseluruh tubuh, nadiku jadi tidak teratur, dan berpacu dengan rasa yang bercampur aduk, sedih dan pilu. Tubuh ibu berangsur dingin, ujung jari, merambat naik, hingga kelutut, dingin sekali, beku.

' Ibu, maafkan aku,' suaraku terjegat, tenggorokan kering bergetar. sebulir bening menetes membasahi pipi ibu yang kian cekung, bibirnya bergetar, tak satu kata yang keluar, tangis berjuta makna.

Aku tak kuasa menahan haru, bercampur aduk, jam makin derdenting keras, sekeras degub jantung didadaku, firasat buruk hinggap tiba tiba, "Ibu, jangan tinggalkan kami, jika ibu pergi bagaiamana nasib kami bertujuh, tujuh jiwa yang sedang membutuhkan bimbingan dan belaian Mu' aku membathin, air mataku tak terbendung, aku makin gusar dan panik, cairan infus jatuh satu-satudan sangat pelan.

' Ayah, Ibu makin turun kesadarannya,' bisikku pada Ayah yang setia mendampingi Ibu, sesekali ayah bereaksi, sepertinya Ayah juga merasakan hal yang sama dengan ku.

Ibu menaarik nafas dalam, dalam sekali, tubuhnya gemeratak, tulangnya seperti diregang, bunyinya berderak seperti orang menggeliat penat.

' Ibuuuuuuuuuuu,' suaraku tertahan, dadaku buncah, tangisku pecah, luruh dan bergemuruh, jarum panjang dan pendek, menunjuk angka 12 persis, tidak kurang atau lebih. Ibuku benar-benar pergi, pergi meninggalkan kami, meninggalkan 7 orang anaknya, plus Ayahku, lelaki setia itu. Ibu pergi meninggalkan rasa putus asa kami, 'tempat bergantung yang telah putus, tempat berpijak yang tlah terban' ratapku melulung.

Ibuku meninggal persis ketika 30 hari menjalai perawatan, jam 12 Malam saat pergantian hari, ada seulas senyum, kendati sangat tipis dibibir ibu, senyum iklas, senyum kerinduan, senyum duka,senyum lara, senyum yang tergantung, senyum penuh makna, dan aku sendiri tidak dapaat menyimpulkan satu kesimpulanpun, kecuali rasa duka dan sedih mendalam.

Satu Kakak lima adik, ada gamang yang menyelimutiku, gamang yang tiada tara, kamang seorang kakak bagi adik adik yang belum mengerti apa-apa, gamang hendak kemana langkah ini di hela, masa depan suram dan kelam,

'Ibuuuuuu mengapa ibu tinggalkan kami, ketika kasih sayang ibu masih kami butuh, hangatnya pelukan dan belaian ibu, saat kami belum punya apa-apa, saat kami terlunta-lunta tangan ibu lepaskan, ibu jangan pergiiiiiiiiiiiii" ratapku, air mataku kering, tak adalagi persediaan, kantong mata terasa perih, hatiku pilu, putusasa hinggap bergelantungan, awan hitam dilangit rumahku.

Hari-hari kulalui dalam sendu, semenjak jasad ibu tertanam, kami seperti ayam kehilangan induk, asa patah, pupus dan redup.

Ayah merasakan betapa sulitnya merenda hari sendiri, perahu itu oleng, saat perjalanan baru saja meningggalkan dermaga, pendayung patah, tentu saja biduk itu terombang ambing, semetara penumpang butuh kepastian dan rasa aman, pelayaran tak mungkin surut, saatnya layar dikembang, tetapi mungkinkah?, Pesismistis seorang Ayah, menghidupi 7 keturunan yang masih belia dan belum mengerti apa-apa tentang hidup.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar