Kamis, 22 Januari 2009

CELANA SEORANG SAHABAT

BAB 13

Aku bergegas ke Batang Gumanti, kendati kabut masih berkeliaran, dingin mencekam membius tulang, palaing tidak suhu rendah dari 14 derjat dan ini seperti pagi yang lain, Aku terkasiap ketika etekku Ante Jin mengabarkan bahwa Ayah ku telah dibawa PO Telaga Indah bialng beliau keliling Sumatera Barat dalam rangka darma wisata.

Dengan rombongan SD 03 Talang Babungo, ada banyak murid dan guru yang ikut, murid yang berpartisipasi terutama kelas 5 dan kelas 6 sementara kendati ayahku guru di SD ini, aku masih kelas dua dan tentu jika aku mempergunakan fasilitas murid jelas ditolak, tetapi Ante Jin memamansiku bahwa tadi ayah menunggumu, saying kamu terlalu pulas.

Darahku tersirap, mendidih dan sejurus aku sudah meraung raung kesetanan, berlari dan terus berlari, ya kesana keujung barat, melewati jembatan besi peninggalan Belanda, jembatan yang selalu kulalaui saban hari, jembatan tempakku bermain main, merentangkan tangan dibantaran jembatan, mengusap dari satu ujung keujung yang lain, pulang dan pergi, meludah diatas bantaran, dan kawan kecilku Budi juga melakukan hal yang sama, diujung baru aku terkekah, air lurku tidak lagi teronggok diatas bantaran jembatan, terlindas telapan tangan budi, dikejauan Telaga Indah samar samar, sepertinya sedang berhenti.

Aku menangis, meratap. Menjerit sejadi jadinya, memanggil ayahku, aku tak peduli walau orang orang memandangku aneh, akuterus berlari sekencang kijang dikejar macan, spidometer kecepatankku telah menunjukkan angka maksimal, dan mobil beringsut pelan-pelan derunya menggelegar. “Stop” teriakkan knek menghentikan laju Telaga Indah sebuah hentakan rem mendadak, “ Anak Pak Ustad” bilang knek dengan wajah bertanya, Aku Naik dan murid murid salaing berpandanagan, guru-guru tertawa berderai mereka juga ternyata senang, seperti perasaan senanagku saat ini.

Mobil melaju membawa sukacitaku yang tek tertara, dan persis didaun telinga terdengar geraham ayah berbunyi gemeratuk, aku baru sadar bahwa celana ku bolong, sepertikacamata, dan ayah mencubitku, mobil kembali riuh, dan Pak Harun terkekeh kekeh sampai matanya berair, buk Nurni, tersenyum senyum seorang guru yang benar benar iklas, dan Ayah hanya menyeringai, seperti kuda hanyut dibawa air bah, Aneh dan jenaka.

Untung saja durasi comedian dengan judul Celana Bolong, Kacamata itu tidak lama, Dodi, lah yang menyelamtkanku, sebuah celana pinjaman menjadi andalanku sehngga Keliling Sumatera Barat dapat kulalui dengan kepala tegak dan Bagi Ayah Insiden ini biasa saja dan tidak terlalu signifikan dan saya tahu karakter Ayah, Ayah adalah orang yang tahan banting, tidak mmudah menyerah, cimeeh, cemooh bukanlah sebuah tantangan yang berarti dan beliau seperti biasa dan kebiasaan beliau.

Jadilah darma Wisata kali ini dan pertaama kali bagiku, begitu indah dn mengesankan, apalagi Citra Kasmili kakak dari Citra Kasmila dia baik kepadaku, kalau dia jajan maka akupun akan tersapu jajannanya, Ibu Nurni Akan mentraktirku, aku tahu kenapa ayah tidak mengikutsertakan salah satu alasannya adalah ya itu tadi kantongnya ayah sedang bermasalah, Kanker.

Untung saja semua akomodasi dan komsumsi ku di handle Buk Nurni, dan jadilah aku seperti dua saudara dengan Citra Kasmili, kalau Mili jajan es aku pasti dapat bagian yang sama, kalau mili makan sate aku dpat sate pula, sesuatu yang indah, dan keindahan it uterus berlanjut dalam pusaran waktu yang berlalu.

JAGUNG REBUS UNTUK AYAH

BAB 4

Sebuah perjalan jauh dan melelahkan, aku baru kali pertama naik benda aneh seperti ini, tidak seperti bus yang selalu hilir mudik dikampungku saban pagi setelah subuh, tidak seperti PO Sinar Lengayang, yang tampilannya elegan, dan nyaman, tetapi ketika turun dari bus Desa Bakti diterminal Alahan Panjang, sebuah kendaraan aneh itu telah menunggui kami.

Seorang pria berjambang, berkacamata hitam menghampiri jinjingan ibu dan tampa babibu mengankat jinjingan tas Ibu, dan kemudian mempersilahkan naik keats mobil aneh ini.

Mobil itu kemudian kuketahui adalah keluaran tahun 1956, dengan spesifikasi kepalanya menonjol kedepan, hamper sepertiga dari keseluruhan panjang mobil itu, ada enam roda yang kesemuanya aneh dan tidak seperti mobil sinar lengayang atau gunung kulam, dan yang lebih aneh lagi, mobilitu memilki bunyi klakson yang akan membuat hati kita ringkih, klakson yang bernyanyi laksana suara saluang, atau musik khas minang yang selalu dinyanyikan efrinon.

Suaranya tentu memecahkan keheningan, Jika Oto anaeh ini lewat, para petani berhenti sejenak, takzim, suara nyayian klasonnya yang nyaris dan mendayu meredakan kepenatan dari segala aktivitas yang sedang dilakukan.

Disepanjang perjalanan yang menyisiri punggung bukit bariasan, alahan Panjang dan Talang Babungo, kendati jaraknya tidak lebih dari 15 Km tetapi karena kondisi infrastruktur yang masih belum layak maka perjalanan itu ditempuh dengan sedikit tambahan waktu dan tingkat rresiko yang sewaktu waktu datang, maut tentu tidak akan segan segan untuk menjemput jika sang sopir tidak bisa mengendalikan diri.

Tidak mobilnya saja yang aneh, sopirnya juga rada aneh, jambangnya seperti rumput liar yang menyemak di rimbo takapuang, sebuah topi berdaun lebar bertengger di rambutnya yang kribo, dan agak gonrong tetapi sangat tebal, dan sebuah kaca mata hitam yang selalu setia bertengger di pangkal hidungnya yang besar dan agak bungkuk. Seperti layaknya Cowboy.

Beberapa orang penumpang sebenarnya ingin merebahkan kepala, tetapi joknya terlalu keras untuk menjadi sandaran kepala, dan bisa bisa ka nada sedikit benjolan ketiak peumpang tidak bisa mengendalikan kantuknya akibat ternatuk, ternyata sopir aneh ini sudah mendapat pesanan dari Ayah untuk membawa kami Talang Babungo, negeri baru, dan temapt ayahku mengabdi sebagai guru.

Mobil itu mendadak berhenti, dan sang sopir bergegas turun seperti sorang sopir pribadi yang mempersialhkan tuan nyonya turun, dalam benakku bagaimana pula ayahku menegenl orang ini, aku tahu ayah adalah orang surau, dia akan gamang bertutur dengan orng seperti itu, tetapi sepertinya orang itu sepertinya sudah begitu denkat dan hormat kepada ayah, dan ini terasa sekali ketika sebagaian penumpang buka pintu dan turun sendiri, bahkan barang bawaanya ya ditangani sendiri, sang Sopir memelototi para penumpang dari sebuah kacaspion besar yang tidak lagi utuh, sepertinya kaca yang dilempari para pengunjuk rasa benpendar membentuk jejaring seperti jarring laba laba.

Ayahku berbasa basi, dan sang sopir itu ternyata juga bernama aneh, Sariak. Serba aneh memang, baru kali ini aku menemui sesuatu yang serba aneh dan nampaknya aku mulai suka keanenhan ini, baru saja kakiku menginjak tanah, aku merasa peraasaan yang luar biasa antara perasaan senang dan gembira hadir di tempat baru dan dengan orang-orang baru, rumah rumah berjejer saling berhimpitan, ada sebuah bangunan masjid besar, dan mencolok, kontras sekali dengan seluruh bangunan yang ada di nagari itu. Baitusshafa, begitu nama masjid itu, konon kabarnya masjid besar dan megah itu adalah bantuan dari Raja Arab Saudi, masuk akal kalau kemudian sebuah bangunan berlantai dua berdiri ditengah tengah pemukiman penduduk. Megah dan elegan.

Ternyata ayah tinggal disebuah rumah papan yang juga unik, lantainya agak tinggi, dan untuknaik keatas rumah kita harus menaikin 6 anak tanggga, ada satu ruangan tamudiabatasi dua bidang dinding, dan satu kamar tidur, sementara dibahagian belakang rumah ada ruangan yang agak lapang, sepertinya ruangan ini adalah ruangan yang berfungsi sebagai ruangan makan, sekaligus ruangan keluarga, jika sedang ada tamu ruangan ini berfungsi juga sebagai tempat tidur, dan tentu saja ada bangunan yang seeprtinya tertemel kediding belakang dan berfungsi sebagai dapur. Rumah ini adalah rumah tinggal dan dan siempunya rumah menag bermukin agak jauh di tepi gunung menjagai ternak dan perkebunannya.

Pertemuan pertama semenjak ayah meninggalkan danm merantau kesini, hamper enam bulan dan tentu saja aku rindu bukan kepalang, kepalaku diusap usap ayah aku tidak digendong karena sudah terlalu besar untuk digendong, dan tentu saja keriangan yang tak terhingga, begitu juga Ibu, kami bertiga berbincang panjang lebar, tentang kampong, tentang sawah, tentang rimbo takapuang,, tentang jabatan Kades yang ditingalkan, tentang proyek CWC kelapa hibrida yang ayah rintis, tentang sanak famili yang antusian dengan berbagai gossip kampong, atau tentang siapa siapa yang masih memilih membujang atau tetap saja belum punya laki laki untuk mendampingi hidup, siapa siapa yang sudah mati berpulang, akibat apa, ditanam dimana, bagaimana istri dan anak keturunnya, atau cerita apa saja tentang aku dan saudara saudaraku. bahkan sampai jauh malam ayah dan ibu masih bercerita, suara yang makin sayup sayup dan hilang bersama rasa kantukku yang kian parah.

Hamper dua minggu aku dan ibu bersama ayah, melepas rindu, sementara kakak dan adikku tidak ikut serta, mereka dikampung diasuh Ayek Usi, saban sore aku kebagian mencari makanan ringan kalau tidak jagung rebus, ya jagung baker, aku hapal betul bahwa ayah selalu berpesan agar dicarikan jagung yang baru diangkat dari tungku, yang masih panas.

Setelah aku dewasa aku baru paham bahwa jagung itulah yang membuat hamper setiap dua tahun aku memiliki adik baru, kalau tidak jagung rebus ya jagung bakar, yang panas dan kalau yang sudah dingin agar direbus lagi hingga terasa panasnya, ayah dan ibu bercerita di interval waktu antara rumah dengan tempat kalau tidak jagung rebus ya jagung baker tapi yang masih panas, kalau sudah dingin ya dipanaskan, kata sandi yang kuhafal dan pada hari hari berikutnya tampa komando “ jagung rebus atau jagung baker yang masih panas, kalau sudah dingin ya dipanaskan” menjadi kalimat ajaib mengapa Ayah dan ibu terlihat sumringah. Lebih lebih ibu, sesuatu yang logis dan masuk akal berdasarkan kajian fitrah dan naluri manusia dewasa.

TUKANG PANGKAS DADAKAN

BAB 5

Jarak yang jauh antara Kambang dan Talang babungo, tampaknya menjadi salah satu bahan pertimbangan mengapa kemudian ayah memboyong kami, eksodus besar besaran terjadi, dan sebagain seorang kepala keluarga ayah mengerti betul bahwa tidak elok memisahkan diri dengan istri dan anak anak.

El Kakakku diboyong ayah duluan karena dia perempuan setidaknya akan dapat membatu ayah mengemasi persoalan tetek bengek, memasak, menyapu atau sekedar mencuci piring, yang jelas untuk memasak dan menggulai ayah belum akan memberikan otonomi penuh, untuk urusan masak memasak masih ayah handle sendiri, karena itu menyngkut liddah dan rasa, jadi ya harus ditangai sendiri.

Bahkan ayah juga dengan telaten menyuci pakaian, setrika, sampai bercocok tanam, dihamparan halaman samping rumah dan depan, tumbuh jenis kacang-kacangan, kunyit, ruku-ruku, ada juga ubi kayu, ubi jalar dan jagung, setap inchi lahan yang kosong menjadi bulan-bulanan cangkul ayah, tidak bisa tidak untuk seorang Guru, tidak saja menjadi taulaan di sekolah saja, eksistensi sebagai guru menjadi motor bagi persoalan soasil kemasyarakatan.

Saat itu belum ada salon untuk anak perempuan, ayah menangani sendiri urusan gunting mengunting rambut Unang, bahkan seluruh potongan rambut kami beliau yang ciptakan dan jadilah berbagai versi potongan rambut yang belum ada dalam literature tata rias rambut, semuanya memang serba alam, bakat alam tepatnya, terkadang bisa jugalah dikatakan kelewat inovatif karena model rambut guntingan ayah yang menyebabkan aku malu dan mogok sekolah selama seminggu, bayangkan kepalaku memang tidak cocok untuk guntingan cepak, eh setelah beberapa lama guntingan berkelbat dikepalaku, kepala terasa ringan, enteng sekali, setelah kupelototi ternyata, yang tersisa dikepalaku adalah aar akar rambut saja, kontan saja aku protes dan salah satu aksi protesku itu, ya mogok sekolah dan ayahpun paham, namun atas saran ibu, resep untuk mempercepat tumbuh rambut adalah dengan sering sering mandi keramas, kalau tidak ada shampoo cukup dengan sabun cap tombak pun tidak apalah. Yang terpenting kepala tempang-ku tidak membuat kawam kawanku terpingkl pingkal.

Seorang bapak bapak datang ketempat praktek “salon” ayah, klien khusus bahkan yang perdana datang, entas siapa pula yang promosi, pokoknya bapak itu tetp yakin bahwa ayah mampu merias rambutnya, barangkali bapak itu ingin pula mengikuti mode terbaru rancangan ayah, aku mulai kuatir dan jangan jangan persoalan ini akan menjadi masalah, kalau hasilnya tidak memuasakan si bapak tentu saja ayah akan jadi sasaran kekesalan orang itu.

Sepintas orang itu tampilannya seperti “jawara kampong” perawakannya tinggi besar, wajahnya lumayan sangar, kumis lebat melintang, dan jiKa dia tertawa giginya kokoh kendati berkarat ulah nikotin yang mengasahnya saban waktu. Dia bukalah pri simpatik dan jika itu terjadi bagaimana pula nasib ayah dan tentu jika firasatku betul maka akan berimbas langsung kepada kami anak anaknya, tidak sebatas efek domino saja tetapi sudah menjadi terdapak langsung tampa ampun.

“ Ma’af kebetulan saya hanya bisa untuk anak anak saya saja” ayak mengelak memberi alasan.
“Coba jugalah Ustadz bagi saya tidak apa apa, rambut saya sudah terlalu panjang, dan seperti model anak ustad itu”

Sembari mengarahkan telunjuknya kepadaku, ia sepertinya tertarik juga dengan model rambutku, kalau dia tahu persis kasusnya saya pasti dia menolak. “ tidak ada lagi alasan bagiayah menolak sehingga mau tak mau ayah melakukan tugasnya, aku lihat mimic ayah agak serius, dan dengan hati hati sekali ayah mempermaikan guntingnya diatas kepala pria itu, ayah seperti sopir yang sedang belajar nyetir, hati-hati sekali dan sesekali ayah melirik pria itu dari kaca yang dipegang.

“ Auuuuuu, takapik, takapik, ……..ou…………….ou.ooooooooooooooooooo”
Pria itu mengaduh, melolong, jelas sekali ayahku telah melakukan kesalahan, telinga pria itu berdarah, agaknya gunting ayah berkelebat terlalu lincah.

“ maaf pak, saya tidak sengaja” kalau disengaja pasti lain ceritanya pikirku membathin, ayahku menyeringai miris, seperti anak yang siap dimarahi guru, orang itu hanya diam, parasnya masam, tetapi dia tetap diam dan tidak berkata kata, sepertinya dia terbawa emosi, kesal.

BN GADIS BUKAN JANDAPUN TIDAK

BAB 6

Ayah, aku dan Si Deh, tetangga depan rumah, seperti biasa sibuk memetut- matut tanaman kacang, kacang buncis dan kacang rambat , dinamakan kacang rambat ya karena hidupnya merambat, kalau tidak diberi junjungan maka jenis kacangan ini tidak akan berkembang, sama halnya dengan kacang panjang butuh junjungan, kalau tidak produktivitasnya tentu tidak maksimal, justru karena itu, aku dan Si deh itu, sering kebagian tugas untuk mencari junjungan kacang.

Kenapa harus aku dan Si Deh, yang jelas setiap acara makan digelar tampa kacang buncis dan kaang rambat akulah yang selalu melakukan protes, menu ini harus selalu tersaji, kalau tidak suasana makan akan sedikit gaduh dan terganngu, nah mencari junjungan kacang merupakan salah satu bentuk konsesi yang harus kutunaikan dengan iklas, tepat cepat sudaah pasti harus cermat, pemilihan ranting, tinggi ranting, dan daya tahan rantingnya.

sementara si deh merupakan salah seorang tetangga yang juga dengan rutin melakukan panen, baik legal maupun secara ilegal, bagi si Deh ayahku sidah dipanggilnya mamak jadi tak ada alasan membat jurang dan jarak dengan Si Deh, toh bagi sideh, bergaul dengan keluarga ”Pak Guru” sapaan ayahku, disamping Pak Ustad, dan mamak, merupakan sesuatu kehormatan tersendiri, seperti orang kampung ku dikenal Bupati, Sideh termasuk yang memahami masalah junjungan ini dengan lebih baik tentunya dari pengetahuan ku yang serba terbatas, terutama soal ranting rantingan kayu, lagian Si Deh tentu punya referensi lokasi ranting yang mudah diakses.

Lokasi yang paling dekat adalah di samping rumah Si BN, aku memanggilnya etek, pernah sekali aku tambahkan kata BN aku disemprotnya haabis habisan, ” ang anak ustad, guru dak bataratik” aku terkejut bukan kepalang, kenapa pula rupanya bukankah orang orang memaanggilnya BN, kenapa aku tidak boleh memanggilnya Tek BN? Atau jangan jangan dia tersinggung ketika suatu kali permohonannya memanen kacang aku batalkan, pasalnya kacang itu baru disemprot pakai insektisida, dia tidak percaya dan cemberut, karena aku sering menyembprot kacang itu dengan air biasa, sekedar untuk menakut nakuti warga untuk tidak.

” mencoba merayu ayah: untuk segenggam kacang?”. tapi kali ini insectisida benaran, dan dia tetap tidak percaya, tetapi aku ngotot tidak membolehkan si Tek BN itu masuk kewilayah perkebunannku dan Si Deh pun sudah menggertak,
” Beko mati uni, Ko, baru diracun tumah”.
” Ba’a den ang panggia BN, bila ayah waang den palaki” Tek BN yang masih montot dan terlihat masih padat itu mencak mencak,
”ang simpilik kariang”, cubo ang ambiak kayu dibalakang ruamah den” dia terus mencirotet, seperti suara rentetan AK 47 yang membabi buta.

Dari Si Deh aku baru paham, wajar saja Tek BN tersinggung, BN adalah inisial sakti dan menyakitkan bathinnya, kendati dia sering kawain cerai, tetapi dia tetap tak sudi di sebut sebagai BN, kendati orang sering mencibir dan mengunjingkan terhadap eksistensi anaknya yang kemarin baru lahir.

Yang jelas untuk anak yang terakhir ini BN secara resmi tidak pernah menikah, dia menjadi tempat pelarian laki-laki yang butuh kehangatan, dan BN menyediakan diri untuk menampung semua ”sampah” yang kalau tidak disalurkan akan pecah menjadi letupan emosi, tindakan sembrono atau tumbuh menjadi jerawat batu.

Karena saking tidak terhitung entah sudah berapa lelaki yang menidurinya, maka gelar BN alias Bini Nagari melekat erat di setiap ekspresi dan namanya.

Untuk sekedar membujuk Tek BN memang saat ibi buka saat yang tepat, berangkali otaknya sudah kenyang dengan umpatan, carut marut, sumpah serapah dan sinisme yang dibangun ibu ibu yang tentu saja kuatir jangan-jangan ssuaminya menjadi korban berikutnya, Junjungan kacang yang berserakan dihalaman belakang pekarangan rumahnya tidak bisa lagi disentuh dengan leluasa.

Jadilah tugas kami hari ini mencari junjungan kacang tersendat dan nyaris tampa hasil apapun, sama seperti BN yang tampa junjungan, kacang rambat yang butuh junjungan harus rela menunggu hingga esok, ketika emosi tek BN benar benar reda setelah segenggam kacang ku serahkan sebagai barter. Aku tidak mau kacangku bernasib Gadis bukan Janda tidak, tampa junjungan, tampa status tentunya.




MENGAYUH NASIB KE MUARA SARIAK


BAB 7

Subuh sekali kami telah berkemas, dingin menggigit, kulihat ayah dan ibu sudah melipat wajahnya.

Ayek Aki jauh jauh datang dari Kambang, membawa sekeranjang cerita dan harapan, betapa besar rasa saying yang beliau perlihatkan kepada Ibu, seperti pertama kali kami menginjakkan kaki di tanaah berawa Rimbo Takapuang, Yek Aki adalah inspirator bagi kami terutama ibu.

Diantara etek-etekku, Ibu memang diberi fasilitas khusus untuk sekolah, jika 6 orang etek etekku paling jauh hingga sekolah kecamatan tapi Ibu, oleh Yek Aki diberi kesempatan dan fasilitas lebih, sekolah di Padang,

Sebuah kesempatan yang langka, ketika belum banyak orang yang mampu menyekolahkan anaknya jauh dari ketiak emak dan bapaknya, Ayek aki dengan Haqqul Yakin memberikan kesempatan kepada Ibu menuntut Ilmu di Kota Impian, kota yang banya diperbincangkan, Padang Kota tercinta.

Kesempatan itu tentu menjadi kebanggaan bagi Ibu, tentu saja Yek Aki memberikan semacam “kontrak” agar bersungguh-sungguh, tidak melupakan kodrat dan melupakan budaya yang selama ini sudah mendarah daging, di doktrinkan ke sanubari setiap akan yang akan merantau, Pandai pandailah di rantau, karena Karatau madang dihulu babuah babungo balun marantau anak gadih dahulu di kampong paguno balu”

Kendati sudah agak terlambat, ibu diterima sebagai Guru PNS di salah satu Sekolah dasar (SD) di kenagarian Sariak Alahan Tigo, sebuah buah jerih payah tidak saja ibu tetapi Yek Aki yang berharap, karena ibu pulalhlah satu satunya anak beliau yang makan gaji pemerintah, selebihnya, istilah beliau 'hampo'.

Hari ini adalah saat pengguntingan pita atau teriakan star, pertama kami bersama sama melepas ibu ke medan tugas di sebuah tempat yang sulit kami bayangkan sebelumnnya, Talang Babungo bukanlah tempat terakhir aliran sungai lembanh Gumanti, disepanjang aliran sungai sampai jauh ke Muara Jambi sana, ada nagari nagari yang butuh sentuhan, nagari nagari yang tersuruk dibalik rimba, yang sulit diakses dan saban hari disungkup rutinitas dan berakhir dalam dunia tempurung.

Sariak Alahan Tigo, SD tempat ibu bertugas persis bertengger dipinggang gunung, jika sekelilingnya hutan lebat dan dikelilingi gunung, menghambat pandangan mata, dibawah mengalir air batang gumanti, yang kelem tapi deras, berbunyi dalam sunyi dan itulah satu satunya simponi alam yang dihadirkan sang pencipta.

Selebihnya diam, termasuk jalan yang meliuk liuk, persis didepan SD sebuah persimbangan, jika jalan diurai belok kekiri, maka kita akan sempai di Pasar Sariak Diateh, berhulu di Nagari Talok, dengan medan yang menanjak dan jurang yang menganga.

Jika jalan Talang Babung0 – Sariak Alahan Tigo terus tampa berbelok kemanapun maka negeri ujung adalah Sungai Abu.

SD itu, masih meninggalkan kenangan tentang keasrian sebuah sekolah Inpres, dan ini amat jelas dari sisa bangunan yang masih terlihat kokoh, kendati disana sini memnag butuh perawatan, tetapi kesannya yang tersimpul masih layak dijadikan sebagai tempat sekolah.


SEPEDA MINI DAN KUDA BEBAN

BAB 8

Akibat jalan yang becek dan berlubang, Oto Si Sariak seringkali terpaksa “istirahat” dan bermalam dalam kubangan, hingga ada pertolongan pertama untuk as yang patah, ban kempes, atau mesin tidak berfungsi, mati mendadak seperti orang kena serangan jantung, tiba-tiba diam, dan tidak bergerak.

Oto Aneh yang sesekali waktu mencoba menerobos ketangguhan sirkuit Talang Babungo -Alahan Panjang, yang terkesan angker dan membuat nyali mengerucut,

Dan sariak adalah satu satunya sopir yang memiliki nyali sempurna, dia lelaki berselera pantang meyerah, bagi yang dapat menaklukkan jalan berbatu cadang, liat dan licin serta mampu menempuh dalam waktu yang relatif bagus maka yang jika dapat ditaklukkan dalam wamtu yang pas, maka sebuah piala penghargaan sebagai crosser alam terbuka atau sallon test wajar diberikan,

Tetapi hari ini adalah hari yang sial, Oto Si Sariak meraung raung, roda-rodanya yang kokoh berputar putar tampa ampun, seakan berlari dikejar hantu, terasa berat, dan emosional.

Bukan Si Sariak namanya jika persoalan seperti ini tak dapat diatasi, karena sebagai sopir berjam terbang dan pengalaman penuh, medan sepeerti ini adalah makan hariannya, jika rute Alahan Panjang- Talang Babungo lebih lembut, rute ini terkenal garang dan ganas, tidak ada ampun salah kendali disisi kanan dan kiri ngarai menganga siap menerkam, bisa bisa jatuh senin, kamis baru sampai dibawah ditepi aliran Batang Gumanti, tentu kalau singgahpula di batang pohon.hari kamis subuh baru jatuh benaran.

“ Mudah-mudahan ada diantara salah seorang murid ayah atau ibu yang nantinya yang jadi Bupati atau Gubernur, sehingga infrastruktur jalan ini dibangun,” ujar ayah.
Memang keterisoliran paling dominan disebabkan sarana parasana jalan yang tidak kunjung dibenahi, sehingga kalaupun produktivitas sawah ladang atau rimba tersedia tetapi tampa didukung sektor ini sama saja dengan membunuh kaum pinggiran dan mereka mati penasaran dalam keterisolasian.

Manakala negara belum mampu memberikan berbagai fasilitas dasar dimaksud maka negara juga harus bertanggungjawab terhadap perbagai ekses yang timbul, salah satunya keterbelakangan, kebodohan.

Justru pada saat inilah sebuah keputusan luar biasa diperoleh ibu, mengabdi didaerah kaya, kaya alamnya, kaya sopan santun dan etika serta kaya akan kermahtamaan ciri khas, orang terkungkung.

Si Sariak sebagai pelaku bisnis transportasi tentu disatu sisi bagaimana mempertahankan usaha trasnportasinya agar tetap bertahan, atau disisi lain juga menginginkan beruabahn pada infrastruktur terutama jalan, jika kemungkinan pertama, maka usaha mobil aneh Si Saraik akan tetap survive, dan mobil aneh tetap menyanyi sepanjang hari, kalau jalan sudah dibenahi pun akan terjadi berbagai kemungkinan, bagi si Sariak menjadi dilematis sekali, jalan buruk susah, kalaupun mulus si Besi aneh akan masuk mesium menjadi kenanagan terindah.

Justru sebagai seorang guru, Ibu harus dituntut selalau melaksanakan segenap tugas dengan penuh tanggungjawab, korupsi waktu tentu menjadi lawan pertama dan penuh tantangan, jika kalah, moralitas pendidkan dipertaruhkan, tentu saja persoalan sarana transportasi menjadi salah satu prioritas, ibu tentu tidak mungkin pula saban waktu mempergunakan oto aneh Si Saariak, disamping berat diongkos, tidak efisien waktu dan tingkat keselatan yang rendah.

Sebuah sepeda mini, merek Sanky menjadi pilihan Ibu, posturnya yang cantik, sporti, elegan, anggun, dan sesuai dengan karakter wanita, sebuah kernjang dibagian depan dan boncengan yang kukuh, tentu ibu tidak salah memilih.

Saban waktu sepeda itu berpacu, menerobos pagi yang masih beku, ibu kayuh sepeda tampa menoleh kebekang, ketika kami lelap dalam tidur, aku masih merasakan hangat belaian tangganya, setiap akan berangkat, tanggannya mengusap kami satu persatu, sebuah getaran hebat menggangu sukma, Ibu seolah berkata “ ibu berangkat lelaplah kalian dalam damai, demi sebuah pengabdian, ibu akan pergi, nak”.

Sesekali aku sempat juga mengatarkan ibu kehalaman, sampai ibu benar benar hilangan dari pandanganku, ada perasaan banggga, ternyata ibu bukanlah seorang wanita yang lemah dan mudah patah, ibu bagiku seorang pejuang, ya pejuang bagi masyakat jauh, jauh di sariak Alahan Tigo, ibu layak mendapatkan gelar, lebih dari sekedar pahlawan tampa tanda jasa, gelar itu kelak akan ku sematkan, di sanubari ibu, didalam sebuah keinginannya yang besar untuk memberikan didikan dan ajaran tentang hidup.

Ibu memilih cari yang tidak biasa, berangkat pagi selepas subuh, ketika orang orang masih mencintai selimut, dan kembali disaat para gadis kampung selesai bersolek dan tegak diberanda beranda kalaua kalau ada pemuda yang terpesona, sebuah rutinitas yang dinamis, energik, patriotik dan syaratnya pasti iklas.

Tak jarang dalam perjalanan yang jauh itu, ibu bertemu dengan berbagai hambatan dan tantangan, bintang buas, babi, kera, ular, orang gila, tebing yang runtuh, longsor, hujan lebat, kabut tebal, atau bunyian yang aneh dan tidak pernah beliau dengan sebelumnya, lolongan, gteriakan, bunyi berdetak patah, mendesis, dan petir halilintar,.

Surutkah nyali ibu, ternyata ibu memahami hakikat tentang hidup dan mahakasih Tuhan, sebuah perjalanan yang sesunggunya sudah diatur, ada satelit mata mata milik tuhan yang mengawasi perjalanan ibu, setelit itu milik Allah dan semua manusia memilikinya, tentu saja ada yang on dan ada yang off .

KISAH SEPASANG SANDAL JEPIT

BAB 10

Ada yang unik, Batang gumanti saban waktu ramai dikunjungi, terutama disepanjang aliran yang melalui pemukiman penduduk, sungai yang berhulu dari danau diatas itu, memang menjadi salah satu andalan bagi masyarakat guna mencukupi kebutuhan akan air, kecuali air minum, semua aktivitas dilakukan dialiran ini, mulai mandi, mencuci pakaian, menagkap ikan, buang hajat, sampai berthaharah.

Baitush Shafa persis berada diatas Batang Gumanti, bangunan yang berdiri kokoh, jika aku bermain main dipuncaknya maka akan sangat jelas, bagaimana Talang Babungo dikelilingi perbukitan, kita serasa berada dalam kuali besar, nun jauh disana hamparan sawah berjenjang dan bertingkat tingkat, padi sepertinya sudah mendekati masa panen, beras solok akan keluar dan menjadi rebutan.


Dimasjid ini, gharinnya seorang yang sangat setia, bahkan untuk memantapkan pengabdiannya, pengurus sengaja mendirikan sebuah bangunan mini untuk menampung segala aktivitas sang gharim, dia dan istrinya memiliki beberapa anak,

Tetapi yang paling kuingat, dia memiliki dua orang anak yang memiliki dua sisi yang bertolak belakang, seperti siang dan malam

Al Arqam memiliki seorang adik Siman, Alarqam terlahir normal, siman sepertinya pernah terkena deman tinggi sehingga dalam tubuhnya yang dewasa bersemayam sikap kanak-kanak, dan tentu saja pergaulan sehari hari, dia sebenarnya mampu berkomunikasi, tetapi sering dianggap sebagai sebuah komunikasi tampa korelasi dan koneksi, tidak ada take and give, komunikasi seperti kita mendengar balita yang sedang belajar ngojeh.

Siman memang bukan makluk kutukan, dia bisa melakukan perbuatan atau tindakan layaknya manusia dewasa, termasuk dalam soal berbagai aktivitas ibadah, shalat misalnya, tapi sayang, semuanya sekali lagi seperti seorang anak yang membeo gerakan orang tua, beramal tampa makna dan muatan apapun, kepalanya liar, pandangannya melayang kesegala penjuru mata angina, apalagi akalnya, ingatannya entah pergi kemana.

Al Arqam kendati agak kalem, namun ia sudah mampu menggantikan beberapa fungsi dan tugas bapaknya, memukul beduk pertanda waktu tiba, jadi muazin , dan kadang kala mengepel ubin masjid, menjemur tikar, membetulkan waktu papan shalat, memstel tone speakers atau sekedar memasang tonggak mik yang copot, bahkan menjadi imam.

selebihnya dia berdiri dipasar-pasar dengan sebuah bejana besar, agaknya berbahan dari plat atau seng, pria ini terlalu lugu dan agak terkesan pemalu, jalanya gontai tetapi dari parasnya terpancar semanagat dan dinamika.

Sebagai seorang pengusaha ekonomi bawah, produk kopi bubuk produksinya termasuk yang banyak dicari, laris. Dengan Aroma bau dan rasa yang menggoda sehingga menjadi idola bagi penngemar minum berkaffein itu.

Pagi sebelum berangkat sekolah, aku selalu sebelum mencebur ke dalam air bersuhu dibawah 15 derjat itu, aku selalu mengambil nafas,berkelumun sejadi jadinya, sepertinya ada rasa enggan menaggalkan kain sarung yang kupakai, “ wuih, air batang gumanti dingin menggigit tidak seperti batang lengayang, yang diam dan sejuk, tidak ekstrem seperti air” gumanku membathin.
Sejurus berikutnya, aku tersadar dari lamunan bahwa sandal jepitkan hanyut tertatih tatih menyisiri aliran batang Gumanti, yang berbatu-batu, dan aku berteriak-teriak, sayang tidak ada yang peduli, membantu sandakku, karena keburu jauh dan akhirnya hilang dalam liukan air yang beradu batu.

Aku masih melihat ada sedikit usaha dari Siman yang berlari kehilir, tertatih-tatih pula seperti perjalan sandal jepitku, tapi sepertinya akan sia sia belaka, karena siapa pula yang mau menyelamatkan sandal jepitku, karena resiko dingin lebih berharga dibanding sebelah sandal jepit itu.

Bahkan Al Arqam berusaha menghiburku “ Jangan terlalu bersedih Ndi, milik kita akan tetap menjadi milik kita dan tidak ada pula orang yang dapat mencegahnya, Allah itu maha kaya dan maha tahu” sebuah pelajaran pagi dari seorang yang mumpuni.

Tapi sebagai rasa bersalahku, maka yang sebelahnya lagi tetapku bawa pulang, sabagai barang bukti atau setidak tidaknya sebagai bahan laporan kepada Ibu.

Tiga bulan telah pula berlalu, Minggu ini Ibu akan ke Talang Babungo, karena memang sekali dua minggu aku dan ayah akan menyongsong ibu ke Pinti Kayu, tapi Minggu ini ada perubahan jadwal dan pesan kepala sekolah tempat ibu mengajar, Pak Abdul Muluk, Ibu ada kegiatan sekolah melatih anak anak menggambar dan membaca bacaan shalat, sehingga giliran aku dan ayah ke Sariak Alahan Tigo.

Seperti biasa, pagi sekali aku dan Ibu serta ayah menyisiri punggung ngarai hingga sampai ditepi Batang Gumanti, Rutinitas ibu mencuci pakaian, dan mandi, sambil bermain aku merendam badan di aliran air, memang tidak seektrem suhu talang babungo, sariak alahan tigo lebih sejuk, jika di talang babungo pohon kelapa meolak untuk berbuah, tetapi disariak kebalikannya, pohon kelapa berbuah lebat, dan bisa menghasilkan kelapa untuk kebuthan talang babungo,

aku terkejut karena ada sebuah benda tersangkut di tepi tepian sepertinya sebuah benda, benda yang pernah kukenal, ya itukan sandalku, sandal yang dulu hanyut, sandal yang baru seminggu menemani kakiku, aku berteriak girang, ayah dan ibu heran, dan mereka pun mematur matut benda temuan ku, untuk ikut memastikan bahwa itu benar benar sandal jepitku yang pernah hanyut dialiran batang gumanti,

Aku sepertinya tidak percaya sebuah kebetulan ataukan sebuah perjalan yang sudah diatur tuhan? Bukankah selembar daun yang jatuh dan terkulai menjadi pengetahuan Allah, apalagi ini sendalku yang kubanggakan kepada teman temanku, sebuah sandal baru, baru seminggu kumiliki tiba tiba hilang ditelan aliran batang gumanti, ya sendalku disisi sandal itu masih terukir namaku, karena setiap memiliki sendadl baru aku akan selalu mengukir namaku di sampingnya, karena bisa saja ada yang usil kemudian berusaha untuk memilikinya dengan berbagai cara. Sebuah keajaiban tuhan.